Friday, April 25, 2008

Jazz: Ketahui dan nikmatilah …

Bagi sebagian orang, Jazz barangkali belum familiar. “Musik apa itu? Saya bahkan tak bisa mencernanya.” Begitu kata mereka. Sebaliknya, ada pula yang mengganggap “Jazz is the truly music.” Jazz itu kebebasan, kata mereka. Karena Jazz adalah improvisasi.

Benar, Jazz adalah improvisasi. Namun, kebebasan berimprovisasi dalam Jazz sebenarnya tak semudah membayangkannya, bukan?

“Improvisasi dalam Jazz harus juga dibarengi dengan pemahaman tentang apa itu Jazz,” komentar Dino, drummer Jazz Medan, yang juga sebagai instruktur musik di Sekolah Musik FARABI Medan.

So, apakah sebenarnya Jazz itu? Mari kita simak penjelasan langsung dari pakarnya: Ben Pasaribu, saat menggelar workshop sekaligus peresmian komunitas Jazz Medan [Medan Jazz Society], di Jalan Dr. Mansur [Klinik Paramita] akhir Januari lalu.

“Teknisnya, Jazz sarat dengan improvisasi. Cirinya, adalah dengan penggunaan not-not miring [blue notes],” jelas etnomusikolog, edukator cum komposer musik kontemporer yang pernah menimba ilmu musik di Connecticut Amerika Serikat [AS] itu.
Artinya, improvisasi memang merupakan aspek terpenting dalam musik Jazz. Berbeda dengan musik klasik yang tampak lebih kaku.

“Itulah kebebasan dalam Jazz,” katanya.

Secara teknis, improvisasi berarti memainkan ritme atau melodi secara spontan [terkadang] tanpa persiapan. Inilah yang disebut dengan “jam session”.
“Dalam ‘jam session’, biasanya akan ketahuan siapa musisi Jazz sebenarnya. Musisi Jazz sebenarnya akan tampil lebih ekspresif dalam berimprovisasi. Ia tidak akan terpaku pada notasi yang sudah jadi, seperti yang dilakukan kebanyakan pemain musik klasik,” jelas Ben.

Lebih lanjut Ben menjelaskan, dalam sebuah “jam session” seorang musisi Jazz sejati tak akan pernah mengulangi nada yang sama dalam dua kali improvisasi. “Jika demikian, itu artinya membohongi diri sendiri,” jelasnya.

Namun, ada kalanya juga jazz absen dari improvisasi. Ini biasanya terjadi di saat jazz dimainkan dalam format orkestra; [Big Band], yang mengadopsi performa musik klasik.

Komunikasi

Kebebasan improvisasi dalam Jazz memiliki persepsi tersediri bagi Erucakra Mahameru, gitaris Jazz asal Medan yang juga pernah menimba ilmu di Berklee College of Music Amerika Serikat.

Eru sendiri mengaku butuh waktu lama untuk memahami apa sebenarnya improvisasi dalam Jazz. Hal itu baru ia fahami betul dari gurunya ketika ia masih menimba ilmu Jazz di Berklee College.

“Meski guru saya telah mengingatkan saya bahwa Jazz itu pada praktiknya adalah ‘komunikasi’, tapi sebenarnya butuh waktu lama buat saya untuk bisa mempraktikkannya,” jelas Eru.

Pertanyaannya, apakah sebenarnya pengertian “komunikasi” dalam Jazz itu?. Eru mejelaskan, improvisasi dalam sebuah “jam session” Jazz pada praktiknya ibarat dialog atau komunikasi. Artinya, sesama musisi seharusnya memiliki kemampuan untuk saling “bertanya” dan “menjawab” lewat instrumen musik.

Improvisasi dalam Jazz adalah komunikasi yang sambung menyambung. Saling tanya dan menjawab.

Eru menggambarkan, jika misalnya dalam sebuah “jam session” seorang musisi memainkan [“menanyakan”] sebuah harmonisasi melodi dalam kunci A [misalnya], maka pemain lain harus mampu “menjawabnya” dengan melodi harmonisasi tanpa mengulangi nada yang telah dimainkan.

“Jika seseorang menanyakan A, maka harus dijawab dengan A juga. Tanpa ada pengulangan. Melainkan, memperkaya yang sudah komposisi yang telah dimainkan sebelumnya,” jelas Eru.

Akar

Berbicara tentang Jazz secara teknis memang tidak akan ada habisnya. Apalagi jika menelisik perkembangan Jazz yang juga memiliki banyak aliran tersendiri, seperti Swing, Bebop, Acid, Fusion, Big-band, Free Jazz [Avant – Garde] atau Jazz Garda Depan.

Itu belum termasuk pengadaptasian Jazz ke dalam genre musik lainnya. Pengadaptasiannya ke dalam irama Latin [Bossanova, Rumba, Salsa, Tango dan masih banyak lagi], misalnya.

YA, musik memang universal. Jazz sudah membuktikannya. Namun terlepas dari aspek musikalitasnya, muncul pertanyaan lagi: “Dari manakah Jazz berasal?”

Berdasarkan aspek sosio –culturalnya, Jazz tak bisa dilepaskan dari sejarah kelam Afro – Amerika. Literature tentang sejarah Amerika mencatat, sebelum Abraham Lincoln mengeluarkan amandemen “Slavery Abolition Movement” pada 1863, perbudakan masih merupakan bisnis yang dilegalkan di Amerika.

Sayangnya, meski Abraham telah mengeluarkan amandemen itu, toh slogan “Black is black” masih tetap berlaku di Amerika. Artinya, yang “hitam” tak akan pernah menjadi “putih”.

Itu artinya lagi bahwa rasialisme menjadi hal yang sangat penting dibicarakan dan diperjuangkan di Amerika hingga abad ke- 20. Dan, Jazz terlibat di dalamnya.
Kelahiran Jazz juga tak bisa lepas dari latar belakang aspek socio–musikologisnya.
Etnomusikolog Ben Pasaribu menjelaskan, budak-budak dari Afrika yang sudah menetap dan turun-temurun di Amerika tak pernah lepas dari tradisi musikal mereka.

Misalnya, dalam hal teknik bernyanyi yang secara kontur melodik bersifat ‘falling strain’. Inilah yang kemudian menjadi asal muasal ‘blues’, ‘gospel’ dan ‘spiritual’ yang kelak menjadi akar kuat kelahiran Jazz.

Setidaknya mulai terlihat apa apa makna di balik slogan Jazz yang berbunyi: “Sebelum menikmati Jazz, sebaiknya ketahui dulu apa itu Jazz.”

Namun ada baiknya juga menyimak apa kata Duke Ellington suatu kali: “Aku tak mengerti Jazz. Tapi, nikmati sajalah …”

***

Inilah Mereka; Virtuoso Jazz itu

Berikut adalah beberapa nama besar yang turut membesarkan Jazz. Jangan lihat warna kulitnya. Tapi, tanyakan mengapa Jazz mendunia [karena andil besar mereka]?

Louis Armstrong

Peniup terompet cum penyanyi dengan suara khas kelahiran New Orleans, 4 Agustus 1901, [wafat di New York, 6 Juli 1971] ini memiliki Andil besar dalam sejarah perkembangan Jazz di dunia.

Kepiawaian Armstrong dalam menggubah komposi Jazz membuatnya menjadi salah satu virtuoso Jazz dunia.

Anda pasti pernah mendengar repertoirnya: “What A Wonderfull World”, salah satu karya abadinya. Atau, “Hello Dolly”, “On the Sunny Side of the Street”, “When You’re Smiling”, “Jeepers Creepers” dan Mack the Knife.

Kebesaran Jazz di New Orleans bisa disebut karena peran Louis Amstrong, yang khas dengan karakter vokalnya parau dan berat itu. Huh! Viva Luois!

Duke Ellington

Pianis dan pencipta lagu kelahiran Washington D. C, 29 April 1899 [wafat pada Mei 1974] ini sudah mulai belajar piano [aliran “ragtime”] pada usia 7 tahun di Washington, Philadelphia dan Altantic City.

Ia mulai bermain di berbagai café dan club di sekitar Washington. Ia sangat menikmati pekerjaan ini. Buktinya, ia menolak beasiswa ke sekolah seni Pratt Institute di Brookyn pada 1916. Dan keluar dari Armstrong Manual Training School.

Dari 1917 sampai 1919, Ellington bekerja sebagai tukang cat di siang hari dan bermain Jazz pada malam hari.

Kelompok musik pertamanya adalah The Duke’s Serenaders; beranggotakan Otto Hardwick, Arthur Whetsel, Elmer Snowden, dan Sonny Greer.

Charlie Parker

Saksofonis, kelahiran 29 Agustus 1920 [wafat 12 Maret 1955) banyak memiliki andil terhadap perkembangan Jazz dan para pemusik Jazz generasi selanjutnya.
Parker, yang dijuluki “Bird” atau “Yardbird”, sering disejajarkan dengan Louis Armstrong dan Duke Ellington, sebagai musikus jazz yang legendaris.

Kemampuan improvisasinya tidak tertandingi pada jamannya. Selain itu, pemikiran-pemikiran inovatifnya mengenai harmoni dan melodi menjadi dasar aliran “bebop”.

Sayangnya, ia meninggal pada usia muda akibat pengaruh obat-obatan.

Dizzy Gillespie

Dizzy merupakan salah satu perintis ”Afro-Cuban Jazz”. Kelebihannya ialah kemampuannya berimprovisasi dengan menambah lapisan-lapisan harmoni yang kompleks, yang sebelumnya belum dikenal dalam dunia Jazz.

Selain itu, ia juga lihai bernyanyi “scat”. Ciri khasnya, memainkan trompet dengan badan dibengkokkan. Pipinya yang mengembang bila bermain trompet.
Selain itu, sifatnya yang ramah sangat menarik minat banyak orang menjadi tertarik pada Jazz.

Miles Davis


Pemain terompet kelahiran 26 Mei 1926 [wafat 28 September 1991] ini dikenal sebagai salah satu virtuoso Jazz paling berpengaruh bagi perkembangan Jazz pada abad ke – 20.
Namanya disejajarkan dengan sederetan pemain trompet jazz: Buddy Bolden, Joe “King” Oliver, Louis Armstrong, Roy Eldridge dan Dizzy Gillespie.

Pemimpin band sekaligus dan komponis ini berperan besar dalam mengembangkan “modal jazz” dan “jazz fusion”. Davis juga menjadi simbol potensi komersial musik Jazz.

Selain itu, jika kekuatan utama Duke Ellington terletak pada soal kepiawainnya dalam menggubah komposisi Jazz dan memimpin band, maka kekuatan utama Davis adalah keahliannya dalam mengumpulkan para musisi berbakat ke dalam grup-grup. Lalu, memberi mereka tempat untuk berkembang. [Tonggo Simangunsong - Berbagai Sumber]

Sunday, March 23, 2008

Balada Gitaris Rock Medan

Seorang Steve Vai telah meninggalkan pekerjaannya lalu “mengurung diri” di studio selama 20 jam dengan gitarnya. Dan siapa yang tak tersugesti ketika ia memainkan repertoirnya: “For Love of God”? Ia kini didaulat menjadi salah satu gitaris dunia paling berpengaruh. Jubing Kristanto juga tak lagi menjadi jurnalis demi gitar klasiknya. Lalu, siapa tak terbuai ketika ia memetik gitarnya tatkala penyair Sapardi Djoko Damono atau Rendra melantunkan puisinya? Ya, menjadi gitaris tampaknya menjanjikan banyak hal. Namun, apakah kenyataan seperti itu juga terjadi dengan gitaris Medan?

Dekade 1980’ an hingga 1990’an adalah masa kejayaan musik rock di Kota Medan. Inilah masa di mana pernah tersebut slogan “ Belum menjadi rocker sejati jika belum ‘melewati’ Medan. Jika kamu seorang rocker, datanglah ke Medan.” Artinya, dekade itu adalah masa di mana musik cadas menjadi pujaan anak muda Kota Medan. Rock dipuja. Rock, sekaligus, telah menjadi simbol identitas dan gaya hidup. Mereka memuja Led Zeppelin dan Deep Purple, Rolling Stones maupun Jimmy Hendrix. Hingga, para virtuoso gitar Joe Satriani, Steve Vai, Rictcie Blackmore, Jimmy hingga Ingwy Malmsteen.
Masa itu adalah masa di mana musik rock merajai anak band Medan. Seorang gitaris yang sempat berkiprah pada masa itu mengenang, Seorang pemain band pasti akan mudah dikenali; baik dari penampilan maupun karakternya yang “ngerock”. ”Dia pasti anak band!” kenang Savril, satu di antara mereka. Ya, begitulah Medan saat itu dengan realitas musikalnya.

Maka tersebutlah sederetan grup band rock Medan yang “giginya” dianggap tajam dan sering merajai panggung rock Medan saat itu, seperti Stoorm V, Cobra, Challenger, Prince, Straightmore, Outsiders, dan masih banyak lagi. Inilah juga masa yang telah melahirkan beberapa gitaris rock, yang namanya masih dihormati hingga saat ini. Mereka di antaranya, Bang Kecap, Pay (pentolan Slank yang kemudian menjadi salah satu motor BIP), Savril Rizal sendiri.

Juga, beberapa nama yang belakangan juga didaulat menjadi jawara gitar rock Medan. Di antaranya, Johannes Dolok, Astro, Malvin (pernah menjadi gitaris “Crossroad” dan “Edelweiss”), Bengbeng (“Sunset”), Sampe Sarman (Edelweiss, lalu menelurkan album solo gitar “World” dan “Affection”), Ganda (“Janoor”), dan sederet nama gitaris lainnya.

Namun, memilih hidup menjadi musisi (gitaris – Red) untuk Kota Medan ternyata tak selalu menjanjikan banyak hal. Terlebih ketika mereka dihadapkan pada realitas industri musik Medan yang jatuh dan bangkit kembali. Maka, tak jarang sebagian dari mereka “berlari” meninggalkan identitasnya sebagai musisi. Lalu, memilih bekerja sebagaimana orang awam lakukan.

Meski demikian, menjadi musisi, sekalipun terkadang meragukan untuk dijalani di kota ini, namun ada sebagian yang tetap eksis. Lantas, bagaiamanakah mereka menjawab eksistensi mereka itu?


Dari klasik ke rock


Ketika ditanya mengapa Savril Rizal memilih hidup menjadi gitaris rock, dengan enteng lalaki berambut gondrong ini menjawab: “Ada kepuasan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, selain kebanggan tampil di atas panggung. Savril, tak asing lagi namanya, adalah gitaris yang saat itu sering didaulat menjadi jawara gitar rock Medan.

Setidaknya, tujuh piala “The Best Guitar” dari berbagai ajang festival rock di masa kejayaan rock Medan dulu masih tertata rapi hingga kini di raknya di “Studio 18” miliknya di Jalan Gagak Hitam 18 Medan. "Itu semua kenangan hasil perjuangan dulu," ujarnya tertawa kecil lalu mengisap kreteknya.

Di usia 10 tahun, Savril mengaku telah jatuh cinta dengan gitar. Sepulang sekolah, ia biasa menghabiskan waktunya berja-jam dengan gitar. Lewat buku, majalah dan kaset ia belajar secara ototidak. Itu jauh sebelum ia mengenal musik rock.

Namun jujur, kata Savril, “Saya telah jatuh cinta lebih duluan dengan musik klasik sebelum musik rock,” katanya. Itu ketika pertama kali ia mendengar lagu Ebiet G Ade: "Lolong", direkam dalam album "Camellia 1” yang sering diperdengarkan di tahun 1980’an.

Inilah yang lantas memacu minat Savril untuk lebih serius mendalami gitar klasik. Hingga suatu saat abangnya yang tinggal di Malaysia mengiriminya buku gitar klasik serta sejumlah kaset gitar klasik rekaman John Williams. “Siang malam saya tidur bisa tidur karena gitar klasik,” kenangnya. Repertoir gitar klasik “Requedos del Alhamra” gubahan gitaris Fransesco Tarrega yang dimainkan John Williams telah memikatnya. Ia terhanyut dibuatnya. Savril bahkan pernah menimba ilmu gitar klasik di Kuala Lumpur selama setahun.

Namun kemudian ia sadar dengan fenomena musik yang saat itu sedang terjadi di Medan. Gaharnya musik rock saat itu perlahan mempengaruhi “sense of musical” Savril. “Kalau dulu, anak band itu sepertinya beda. Sering tampil di panggung. Disoraki dan disanjung banyak penonton,” kenangnya.

Situasi inilah yang kemudian memotivasi Savril untuk pun membentuk band. Formatnya adalah rock. Yang garang dengan skill yang juga tak kalah menantang inspirasi. Lalu, bersama bandnya ia pun mulai berjuang di panggung rock Medan.

Savril semakin mencintai rock. Dan bangga menjadi gitaris rock. Namanya pun mulai dikenal karena sering menyabet predikat gitaris terbaik di berbagai even musik rock. Ini semakin memuncak ketika ia bertemu dengan Pay yang tinggal di Stabat dan saat itu sudah memiliki band bernama Cobra.

"Dari Pay, saya banyak belajar hal. Ia sekaligus sahabat yang baik buat saya," katanya. Bersama Savril, Pay yang saat itu sempat dianggap "anak Potlot" yang hilang kembali ke Jakarta pada 1986. Setahun kemudian, Pay bergabung dengan Slank.

"Susah senang saya alami dengan Pay selama di Jakarta," sambung Savril. Namun, kenyataan untuk bisa eksis di Jakarta belum sampai ke tangan Savril, seperti yang sudah diraih Pay. Maka, sepulang dari Jakarta, Savril kembali ke Medan dan bergabung dengan beberapa musisi Medan lainnya. Bersama bandnya, lalu berangkat menjadi band penghibur di sebuah cafe di Bali.

Sekembalinya dari sana, pada 2001 ia pun membuka studio musik dan rekaman. Di tempat ini saya ingin membimbing adik-adik yang ingin serius di musik. "Saya ingin suatu saat nanti, ada band yang bisa membanggakan Medan berkat didikan saya," ujarnya optimis.

Perjuangan tanpa henti


Dunia kecil Johannes Dolok, 38 tahun, gitaris Medan yang dikenal dengan gaya permainan gitarnya yang khas itu, adalah dunia yang dekat dengan musik. Ibunya, M Manullang adalah seorang pemain gitar klasik yang lantas menurunkan kemampuannya musikalnya kepada anak-anaknya.

"Ibu sayalah guru gitar saya yang pertama. Sebenarnya, bukan hanya saya yang bisa main gitar di keluarga saya, tapi juga adik dan abang saya," ujar gitaris yang akrab dipanggil Dolok itu ketika ditemui di studio gitar sederhana di belakang rumahnya.

Tapi, sejauh ini orang Medan pasti lebih mengenal Dolok sebagai gitaris rock yang garang. Yang biasa mendudukkan atau bahkan menidurkan gitarnya sambil memainkan teknik "tapping" di antara freet dan senarnya di hadapan penggemar musik rock.

Tak jauh beda dengan Savril, Dolok juga mengalami begitu beratnya dorongan untuk beralih ke rock. Bedanya, Dolok sedikit dibumbui adegan yang lebih dramatis soal peralihan itu.

Dolok mengisahkan, suatu kali ketika ia sedang latihan karate ia mengalami kecelakaan yang lantas meremukkan buku-buku tangan kanannya. “Waktu itu saya memukul riol yang lantas meremukkan tangan saya sehingga dalam waktu yang lama saya tidak lagi bisa memetik gitar klasik. Jari tangan kanan saya jadi kaku,” kenangnya.

Nah, di sinilah Dolok mulai mencoba mengenal gitar listrik yang biasanya hanya menggunakan “clever” untuk memetik senar-senar gitar. “Saya juga melihat saat itu, ternyata musik rock itu tampaknya lebih seru. Apalagi waktu itu cukup sering diadakan festival band. Sejak situlah saya mulai mempelajari gitar listrik,” jelas gitaris yang kemudian sering menjadi sorotan di antara penggemar musik rock Medan itu. Termasuk Ngumban Brahmana, pemilik Lowrey Music Studio, yang menawarinya untuk mengembangkan ilmu gitarnya ke Bandung.

Berkat rekomendasi dan dukungan materi dari Ngumban Brahmana, maka pada 1990 Dolok pun berangkat ke Bandung dan belajar gitar kepada seorang guru gitar jazz, Yono AR secara intensif selama setahun lebih. “Tapi, saya lebih mendalami unsur rocknya. Karena lebih akrab di telinga saya,” ujar Dolok.

Sepulang dari sana, pada 1991, Dolok diangkat menjadi instruktur gitar. Selain itu, ia juga makin sering mengikuti kompetisi musik rock yang diadakan di Medan hingga Aceh. “Ketika main solo gitar di Aceh, saya diminta tinggal di sana, tapi saya tidak mau,” katanya.

Tahun 1996, Dolok tak lagi mengajar di Lowrey Music Studio. Dan memilih mengajar di rumahnya hingga saat ini. “Hingga saat ini, saya tetap mengajar gitar di sini,” ujarnya menunjuk ruangan kecil di belakang rumahnya yang beralamat di Jalan Pengayoman, Gaperta. “Mereka datang langsung ke mari. Dan saya bangga, tak sedikit murid saya yang berhasil saya didik menjadi gitaris berbakat,” sambungnya.

Tak sedikit penghargaan yang sudah diraih Dolok, hingga ia pun dianggap sebagai salah satu gitaris yang paling prestisius di Kota Medan. Kelebihannya adalah kemampuannya memaikan gitar dengan teknik yang tak bisa dilakukan oleh banyak gitaris Medan, yakni dengan memainkan komposisi melodi gitar dengan teknik “tapping”, sementara gitar didudukkan. Belakangan, dia berhasil meraih juara II Festival Gitar Fender pada 2002, meski tak sedikit yang melarangnya untuk ikut dalam kompetisi itu dengan alasan senioritas.

Meski nama Dolok sudah besar di Medan, namun ia mengaku kepuasan untuk menjadi musisi untuk kota seperti Medan masih jauh dari yang ia harapkan. Ia mengeluhkan minimnya wadah untuk menampung bakat para musisi Medan yang belakangan ini lebih maju.

“Sayang sekali, banyak musisi Medan yang berbakat, tapi tak punya wadah. Belum ada orang yang mau invest di bidang industri musik MEdan. Makanya, mereka terpaksa berjuang sendiri,” komentarnya.

Hal lain, Dolok juga mengeluhkan para pengusaha hiburan di Medan yang kurang menghargai musisi. “Mereka dibayar terkadang tak sesuai. Ya, daripada tidak eksis, musisi terpaksa menerimanya walau kecil,” jelasnya. Inilah juga alasan mengapa Dolok lebih memilih bersolo karir; baik sebagai pengajar, tampil pada even musik dan menjadi juri dalam berbagai festival.

“Bersolo karir lebih nyaman. Saya punya banyak waktu luang,” ujarnya. “Bukannya saya tidak suka untuk membentuk band dan menjadi penghibur di café-café, tapi dari yang saya lihat, hal itu tak menjanjikan. Pengusaha hiburan membayar mereka terlalu kecil,” sambungnya.

***

Sampe Sarman beda lagi cara menjawab eksistensinya sebagai gitaris rock. Pada pertengahan 2006, ia ikut mengerjakan proyek album band Marin X berjudul “Jauh” dengan Maringan Siagian, vokalis Fireball, “homeband” Rock Café, Hotel Danau Toba International, Medan.


Sebelumnya pada 2004, lulusan Fakultas Sastra Unika St Thomas itu juga telah menelurkan “The World” berisi 12 intrumen solo gitar yang ia garap secara indie. Setahun kemudian, dengan format yang tak jauh berbeda ia kembali mengeluarkan album “Affection”, berisi 14 intrumen solo gitar, karyanya.

“Saya tahu, banyak orang yang tidak yakin dengan performa musik anak Medan. Tapi kalau kita menyerah hanya karena anggapan sinis itu, maka tak akan ada yang berubah dengan musik Medan,” ujar pengagum Joe Satriani dan Kee Marcello (gitaris Europe) itu.

Perjuangan Sampe tak mudah. Sebagai gitaris, ia juga memasarkan sendiri kedua karyanya itu. “Saya distribusikan lewat studio-studio dan rekan-rekan sesama musisi. Inilah upaya kita sementara. Target kita yang paling utama adalah ingin mendapat lirikan label major Jakarta. Mudah-mudahan. Suatu saat nanti,” katanya.

Savril, Dolok dan Sampe hanya tiga di antara banyak musisi Medan yang telah berjuang demi eksistensi sebagai musisi (gitaris – Red) di kota seperti Medan. Memang tak mudah. Namun, setidaknya mereka telah melakukannya. Sekaligus, menunjukkan bahwa Medan juga punya potensi.

Break on Through to the Other Side

Sabtu, 15 Maret kemarin, sejumlah anak muda Medan yang menamakan dirinya komunitas band indie Medan menggelar even musik berlabel: “Break on Through to the Other Side”. Even digelar di Lapangan Badminton Jl Kapten Batu Sihombing, Medan. Dan sebanyak 13 band indie yang tampil tanpa dibayar, tapi justru membayar. Kata mereka, inilah satu dari gebrakan band indie untuk bisa eksis di Medan. Okelah, bro!

Band-band yang ikut nimbrung di even ini di antaranya: The Changis, The Ohgood, The Chocoholate Farm, Electro Sine, Up to Date, Inferno Hell Brown, Refflex, The Breangsex, Jimi Leaver. Juga, beberapa band indie lainya yang tampil dengan formasi aliran musik yang berbeda, seperti Rock n’ Roll, New Wave, Rock Alternatif, Techno, Disco maupun aliran yang akhir-akhir ini sering mengemuka: aliran Screamo.

Namun, apapun jenis alirannya, seperti kata ketua panitian even Adam, even musik kali ini ternyata banyak mendapat respon dari anak-anak band Medan. Ini sekaligus membuktikan bahwa kreatifitas anak Medan yang berani tampil dengan karya musik sendiri telah memasuki era yang sudah cukup maju. “Kalau di Bandung, indie bisa eksis. Kita juga mau seperti itu di Medan,” ujarnya kepada Global.

Uniknya, even ini berlangsung tanpa dukungan sponsor komersil dari manapun. “Kami menggalang dana sendiri. Tanpa sponsor,” ujar Adam. Ia menjelaskan, selain kontribusi dari ke-13 band yang tampil, dana juga digalang dari teman-teman yang peduli dengan perkembangan band indie di Medan.

Selain Adam, sederet nama yang terlibat dalam even ini tak boleh diabaikan. Karena, “Even ini tak akan bisa jalan tanpa dukungan dari mereka,” jelasnya. Mereka adalah, Batak yang dipercaya sebagai “show director”, Amek sebagai “stage manager”, Wawan (sekretaris) dan Sarum (bendahara).

Adam dan teman-teman mengharapkan, lewat even ini kreatifitas para anak band Medan lebih terpacu untuk bisa berkarya. “Paling tidak kita telah berupaya mempromosikan band-band indie Medan. Bagaimana kelanjutannya, kita butuhkan dukungan dari teman-teman,” jelas Adam.

Ia menambahkan, ke depan even sejenis diharapkan bisa terselenggara lagi. “Kalau bisa lebih besar. Karena selama ini, memang sangat jarang even indie diselenggarakan di Medan. Makanya, kita butuh dukungan anak-anak band indie lainnya,” tutupnya.*

Tuesday, March 18, 2008

Yo..! Ada Hiphop di Medan, bro!

Jika Jazz mampu membesarkan namanya dari New Orleans hingga seluruh kolong langit, maka demikian juga halnya dengan Hiphop yang datang dari Afrika dan melejit di Bronx AS, hingga merebak nyaris ke hampir seluruh dataran planet ini. Tak terkecuali kota kecil: Medan; ditandai dengan lahirnya generasi baru: Hiphop Medan.

Ada beberapa nama yang akan disebut-sebut menjadi ikon Hiphop Medan dewasa ini. Penilaian ini didasarkan pada eksistensi mereka. Bukan hanya eksistensi sebenarnya, tapi juga bagaimana mereka menjawa eksistensi mereka itu dengan karya. Baik mereka mereka yang bergerak di empat batang tubuh Hiphop itu sendiri: Rapper (Microphone Controller), Grafity, Turntablis dan Breaker.

Orang Medan dewasa ini mungkin baru mengenal Hiphop setelah mendengar “50 Cent”, “Eminem” atau “Black Eyed Peas”, yang bagi sebagian pengamat Hiphop genre yang mereka bawakan itu merupakan terobosan baru dalam kancah Hiphop sendiri. Padahal, di Medan diam-diam Hiphop sebenarnya telah lama tumbuh bak jamur. Menyerap perlahan hingga tumbuh menjadi sebuah yang bisa dikonsumsi, atau sebalikanya dianggap sebagai “racun”, yang memperahuri “sub-culture” kita. Namun, itu tergantung persepsi orang menilainya, bukan?

Maka, tersebutlah beberapa nama yang bisa dianggap mewakili Hiphop Medan: Rapper Ucok Munthe, Jaypey, Reza Husein, Illegal Rhimes, DJ Ronald dan DJ Rico, dan nama-nama dari komunitas “breaker” Medan yang belakangan mulai mendapat tempat di tengah. Sempat juga terbentuk komunitas bernama “Medan Hiphop Community”. Namun komunitas ini sempat lama vakum. Namun kembali dibangkitkan dengan munculnya komunitas baru yang memiliki motivasi sama; komunitas yang lahir dari akar Hiphop, di antaranya: “One Voice Hiphop Movement”, “Utama Side”, “POULAYA”, “Cash Family”, “Pangkalan Brandan Rap” dan “V Double L.A”. Ini belum termasuk komunitas yang diam-diam belum merepresentasikan wujudnya.

Ok. Itu masih rap. Bicara soal B’Boy Medan, maka sangatlah tidak “respect” jika tak menyebut beberapa komunitas ini: Medan Street B’Boyz (MSB), IBO Breakinz, Popgank Anak Lantai, Kinniku Squad, Oroginal Baby Rock, S.O.G, Crushxable maupun Lowbat. Jumlah yang tak sedikit jika mengetahui bahwa komunitas seperti ini baru mulai tumbuh di Medan sejak 2003.

“Jumlah ini, sebenarnya drastis. Sebelumnya, Medan tak pernah memiliki komunitas breaker. Mungkin ada, tapi namanya tak pernah kedengarannya,” ujar Asep dari MSB.

“Perjuangan Rapper lokal”

Akhir 2007 lalu, Ucok Munthe (29) merilis album “Aku dan Diriku”. Ini adalah album pertama Ucok yang langsung mengusung namanya setelah beberapa kali terlibat dalam penggarapan album kompilasi dengan beberapa rapper, baik dari Medan maupun luar. Album ini terdiri dari 12 hits yang ia garap selama 2 bulan lebih bersama tiga “beat maker”: Tora Tobing, Mahendra Ginting, Manu (Prancis); juga melibatkan Hanna (singer) dan Jere (rapper). Namun, ada satu yang menarik dari album ini, yakni sebuah tulisan berlatar banner hitam putih: “Perjuangan Rapper Lokal".

Ya, merebaknya komunitas Hiphop di Medan memang telah membuktikan bahwa Hip-hop tidak baru saja eksis di Medan. Maka, seperti kata Ucok yang bernama lengkap Ardiansyah Munthe itu, album ini adalah satu jawaban dari eksistensi itu. Tak salah juga jika album ini dibubuhi kalimat itu. Sebab, album ini sendiri memang masih bernaung di bawah label indie. Digarap bersama di sebuah studio rekaman Medan. Setidaknya jelas bahwa album ini adalah satu wujud perjuangan generasi Hiphop Medan, yang rupanya tak ingin sekadar eksis. Album ini sekaligus menjelaskan bahwa Ucok tak ingin dicap sebagai generasi Hip-hop yang hanya “maniak”. Tanpa kreatifitas.

"Saya tak akan berani mengaku seorang rapper, kalau saya belum punya karya," jelasnya. Seseorang layak dikatakan rapper jika mampu mengekspresikan apa yang ia lihat dan ia rasa dengan ‘style’- rapnya sendiri. Dengan spontan. Yang juga tidak selalu mengalunkan karya rapper lain. "Sekalipun memang itu tak ada salahnya, ” jelasnya.

RAP adalah satu di antara cabang Hip-hop yang mendapat peran aktif dalam perkembangan Hiphop, selain “grafity”, “breaker” dan“turntablism”. Seperti kata Ucok, Rap adalah ekspresi jiwa dari yang dilihat dan dirasa. Rap bukan hanya sekadar nyanyian. Tapi, lebih pada alunan kata demi kata yang biasanya dialunkan dengan super cepat. Rap juga bukan sekadar harmonisasi musik. Tapi, lebih pada hentakan beat. Beat adalah jantungnya Rap.

Maka, pernyataan Ucok tak meleset dari apa yang ia utaran dalam lirik “Satu Mikropon”, yang direkam di album kompilasi “Hip-hop tanpa Tembok” pada 2005. Di album yang ia garap bersama rapper Medan lainnya itu, dengan “lantang” Ucok menegaskan:

“Hip -hop adalah jiwa yang bernafaskaan proses perjuangan hingga menjadi wadah. Akar pohon dari empat cabang yang hidup, RAP adalah ekspresi jiwa lewat kata-kata yang beralun menyampaiakannya secara spontanitas maupun yang sudah ada dari keadaan yang dilihat, didengar dan dirasa.”

Namun, seorang generasi Hiphop bukan berarti harus "terjun bebas" pada keempat cabangnya. "Rapper punya bagiannya. Begitu juga 'breaker', 'grafity' dan 'DJ'. Meski tak menguasai keempatnya, namun paling tidak mengetahuinya secara umum," jelas Ucok, yang mengaku pertama kali mengenal Rap setelah mendengar Farid Hardja (alm - Red) dan Iwa K itu.


"RAP adalah satu di antara cabang Hip-hop yang mendapat peran aktif dalam perkembangan Hiphop, selain 'grafity', 'breaker' dan 'turntablism' ..."



Perjuangan rapper lokal, barangkali buan hanya sekadar slogan bagi Ucok. Sebelum album ini ada, Ucok telah berbagai tahapan yang tidak singkat. Pada 1998, Ucok telah membentuk "Deli Tua Rapper Club", yang didirikannya dengan Joshia Julpri Tarigan. "Sayang, Julpri lebih dulu dipanggil Tuhan," ujar Ucok.

Sebelumnya, bersama Julpri, Ucok "terbang: ke Jakarta dengan modal 9 aransmen rap yang mereka garap bersama. Album ini diberi nama "Berontak". "Kami ingin menembus label major," kenang Ucok. Hits mereka sudah sempat di atas meja Musica Record, sasaran mereka. Namun sayang, album mereka tergeser oleh "7 Kurcaci", saingan mereka saat itu. "Kami anggap itu kegagalan yang tertunda," jelas Ucok, tanpa ingin membeberkan unsur intrik yang menyusupi kegagalan mereka saat itu.

Di Jakarta, Bekasi, 2000, Ucok lalu bergabung dengan komunitas hiphop "Rontak" yang dimotori M Bayu "Lil By'U" Firdaus" pada 1999. "Aku banyak belajar tentang Hiphop di komunitas ini, termasuk pengalaman tampil di berbagai even Hiphop," ujar pengagum rapper Vanilla Ice, MC Hammer dan Salt & Pepper ini.

Dua tahun di Jakarta, Ucok kembali ke Medan. Pada 2001, bersama rapper dari Jakarta, Medan dan Malang, Ucok menggarap album kompilasi rap kedua: "Kembali Berontak". Yang kemudian membuka kesempatan bagi Ucok sementara menjadi "Rapper Entertainer", istilah yang menurut Ucok, "bukan rapper sejati" karena rapper sejenis ini hanya memenuhi keinginan Even Organizer. "Sedang, rapper sejati adalah rapper yang bisa eksis tanpa selalu ada EO. Yang bisa eksis sendiri," komentar ucok.

Tak berhenti sampai di situ, Aldi, "beat maker" asal Malaysia mengajak beberapa rapper Medan, termasuk Ucok, Jaypey dalam penggarapan album rap "Moezafir". Awal 2006, bersama "Infrared", KO 2 & Lilfigh" dan "Taxlore", Ucok kembali terlibat dalam album kompilasi "Hiphop tanpa Tembok". Sempat berkolaborasi dengan DJ Ronald dalam pembuatan demo "Siapa Kali Dirimu." Dan sempat ikut tampil di ajang "Rock United Soundrenaline 2006" di Lanud Medan. "Ini adalah pengalaman manggung paling berkesan buat aku. Karena saat itu, gaung Hiphop terdengar di antara gaung Rock, yang sangat jarang terjadi," ujarnya.

Sebelum "Aku dan Diriku" dirilis, ternyata perjuangan yang panjang telah ditempuh sebelumnya. "Perjuangan ini belum berhenti," jelas Ucok, mengulangi bahwa Hiphop adalah musik yang barangkali sudah menyatu dengan jiwanya. Dan ingin membesarkan namanya di kancah lokal: Medan, yang tak ingin persis menyamai Hiphop di Bronx dengan lifestylenya yang lebih "gila".

"Hiphop di Bronx boleh saja gila, karena itu tak terlepas dari pengaruh sosial mereka. Hiphop yang saya anut tak sejauh itu. Tanpa drugs atau alkohol, Hiphop juga bisa. Dan begitulah aku," ujar lelaki yang bahkan memang bukanlah pecandu nikotin itu. Untuk Medan, ia ingin Hiphop tetap eksis dan independen. Ya, ini adalah wujud perjuangan rapper lokal yang telah menjalani proses panjang. Sekali lagi, "Karena Hiphop adalah bagian dari jiwaku," katanya.

***


Jaypey terlahir dengan nama lengkap Joko Priyono. Perkenalannya dengan Ucok Munthe pada 2004 membuka matanya lebih luas tentang Hiphop. Di usianya yang masih 23 tahun, Jaypey boleh dikatakan sebagai salah satu penggila Hiphop yang tampaknya ingin menjaga eksistensinya. Meski terkadang pesimis, tapi ia yakin. “Suatu saat nanti Hiphop akan besar di Medan. Mungkin belum saat ini,” ujarnya optimis.

Pada 2005 ia juga terlibat dalam penggarapan album kompilasi “Mouzafir”. Namun, ia menganggap itu tak cukup untuk menjawab eksistensinya sebagai rapper. Akhir tahun 2007, ia pun membentuk “One Voice Hiphop Movement”, komunitas Hiphop yang merupakan reinkarnasi dari “Medan Hiphop Community” yang sempat vakum beberapa lama.

Saat ini, bersama 12 grup rapper Medan dan 2 dari Pangkalan Brandan, ia turut terlibat dalam penggarapan album kompilasi “Suara tak Terbatas”. Tracking dan desain album sudah selesai. Hanya saja, “Proyek ini terkandala biaya. Juga minimnya sponsor yang mau terlibat,” jelasnya.

“Dari 15 proposal yang telah kami ajukan, hanya 3 yang mendapat respon. Saya, tidak tahu apakah karena mereka menilai Hiphop tak memiliki prospek komersil. Tapi, walau bagaimana pun, proyek album kompilasi ini akan tetap berjalan,” ujarnya. Meski masih dilabel indie, proses mastering album ini rencanya akan dibuat di Kuala Lumpur, sama seperti album “Moezafir”.

Ucok dan Jaypey hanyalah dua “jamur” Hiphop yang kini sedang berjuang untuk Medan. Selebihnya, langkah yang sama juga turut dilakukan para generasi muda Medan lainnya, meski berjalan di elemen yag berbeda dari akar yang sama. Meski mereka tahu bahwa Hiphop tidak lahir dari akar budaya mereka, namun itu tak jadi soal. Cinta mereka pada Hiphop telah mengalahkan segalanya.

Maka, tak salah jika suatu kali seorang penulis musik James McBride untuk National Geography, dalam artikelnya “Hiphop Planet” menulis: “Dunia saat ini adalah dunia hip-hop”. Hiphop adalah sebuah fenemena kebudayaan yang menjadi universal. Hiphop bukan hanya musik; tapi juga “culture and lifestyle”. Ya, “ we are living in planet hip-hop now”, bro!

KOLEGIUM MUSIKUM: Multi-Instrumentalis

Greget musik di Kota Medan dewasa ini dapat dikatakan kian berkembang. Ini dapat dilihat dari munculnya banyak komunitas musik yang ingin ikut mengambil bagian di dalamnya. Baik sebagai penyaji musik dalam berbagai event, seperti untuk mengisi kebutuhan musik di dunia entertainment, adat juga kerohanian. Atau bahkan untuk mengikuti ajang festival di berbagai ragam musik.— baik di tingkat lokal maupun luar.

Meski demikian, dari sekian banyak kelompok musik itu pada umumnya masih setia pada warna musik popular maupun tradisional. Namun, dewasa ini kehadiran beberapa kelompok musik yang ingin tampil beda (dengan mengambil corak yang khas) dapat dijadikan sebagai indikator perkembangan musik Kota Medan, kota yang memang bersifat multi-cultural ini.

Semisal dengan hadirnya grup-grup musik seperti “Incidental Music” yang dipimpin Hendri Perangin-angin, “Swarasama” yang dipimpin Irwansyah Harahap. Dan “Pan-Sumatran Ensemble” yang digagas oleh Ben M Pasaribu.

Selain keempat grup itu, masih ada kelompok musik lain yang telah turut serta memperkaya kekhasan itu. Kelompok itu adalah “State University of Medan Performing Ensemble: Kolegium Musikum”. Nama grup musik yang cukup panjang, namun sering disebut “Kolegium Musikum”.

“Kolegium Musikum” merupakan kelompok musik yang unik. Karena, meskipun pada dasarnya personilnya adalah dosen dan mahasiswa UNIMED (Universitas Medan), namun kelompok ini bersifat terbuka. Artinya, grup ini tidak metutup diri untuk berkolaborasi dengan musisi dari manapun. Maka, tak heran jika grup ini juga kerap bermain bersama pemusik-pemusik tamu—baik dari Tanah Air maupun mancanegara—dalam sebuah perhelatan musik.

Ragam musik yang diusung kelompok ini pun merambah ke corak yang lebih beragam. Seperti corak world music, experimental music, improvisational jazz, pop-ethnic dan kolaborasi intermedia, yang selalu menyesuaikan diri pada event yang diikutinya. Namun, tetap memiliki ciri yang khas.

Multi-instrumentalis

Kelompok ini sudah ada sekitar empat tahun yang lalu. Meski masih tergolong masih muda, namun kehadirannya cukup partisipatif. Grup ini sering hadir “unjuk gigi” pada berbagai event musikal—baik lokal, nasional dan internasional.

Diantaranya, berpartisipasi pada event “Yogyakarta International Gamelan Festival” (bersama dengan Dewan Kesenian Medan), mengisi Special Performance di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Selain itu: berkolaborasi dengan Sinar Budaya Group dan Tim Kesenian Serdang Bedagai untuk berpartisipasi dalam Pesta Gendang Malaka di Malaysia; mengikuti Indonesia – Malaysia – Thailand Cultural Convocation; Pergelaran Musik Sumatera Utara – Lampung; mengisi pembukaan pameran seni rupa di Galeri Tondi Medan; dan baru-baru ini tampil di Malacca Strait Jazz, Pekanbaru dengan pemusik tamu Emmanuel Zimbert, seorang lector musik (juga DJ) dari Prancis.

Kemudian, juga turut berpartisipasi pada Aceh World Music Workshop di Takengon dan Banda Aceh, yang berkolaborasi dengan pemusik tamu Ed van Ness (Amerika Serikat), Kim Sanders dan Phoebe Dawson (keduanya dari Australia).

“Pada dasarnya personil kelompok ini adalah multi-instrumentalis, yang dapat memainkan beberapa ragam instrument musik dan bernyanyi,” ujar Ben Pasaribu menanggapi kelompok musik ini.

Beberapa seniman musik yang aktif berpartisipasi di dalam grup ini diantaranya adalah, Mukhlis Hasbullah, Panji Suroso, Evan Peris, Yulivan Saaba, Pulumun Ginting, Lamhot B Sihombing, Ben M. Pasaribu, Bram Gun. Selain sebagai performer, semua seniman ini juga adalah dosen tetap juga dosen luar biasa di Program Studi Musik UNIMED. Dan beberapa di antaranya adalah mahasiswanya sendiri.

Eksistensi grup musik ini barangkali tak pantas dipandang sebelah mata jika melihat statis partisipasi mereka dalam meningkatkan pamor musik Kota Medan. Setidaknya grup ini juga bisa menjadi kebanggaan kota ini.

Obsesi Kolegium Musikum juga tampaknya tak muluk-muluk. “Sekarang, grup ini sedang mengusulkan untuk lolos seleksi mengikuti perhelatan Festival International de Musique Universitaire, yang akan diadakan tahun 2008 di Belfort, Prancis,” ujar Ben Pasaribu.

The Man Behind “Huria! Record”

Inisiatif untuk mendirikan industri rekaman di Kota Medan boleh jadi adalah sebuah langkah berani. Dan barangkali ini adalah sebuah ide yang “gila”. Masalahnya, dibutuhkan tak sedikit energi untuk menggerakkan ide ini; baik secara finansial maupun manajemen dan strategi. Belum lagi resiko kerugian yang akan diderita melihat geliat industri musiknya Medan yang masih sangat lesu ini.

Namun, justru ini adalah sebuah tantangan bagi Reza Pohan, pendiri ”Huria! Record”, sebuah industri rekaman yang masih berjalan di jalur indie label. Label ini sudah berdiri sejak 2006 dan masih eksis hingga kini, meski dengan sejuta tantangan.

”Kalau tidak dimulai dari sekarang, sampai kapan band Meda bisa terangkat,” ujar Reza, lelaki di balik ”Huria! Record”, yang mengaku sejak lama sudah tergila-gila pada musik itu.

Ide untuk mendirikan industri rekaman sebenarnya tak pernah terpikirkan oleh Reza sebelumnya. Namun, tantangan itu muncul suatu kali dalam sebuah kesempatan yang tak pernah diduga pada 2006 yang lalu.

Pada sebuah even musik bertajuk ”Lost in Melody” yang diselenggarakan oleh beberapa anak band Medan, November 2006 lalu di Garuda Hotel Plaza, Reza mulai melihat tantangan itu.

Waktu itu, beberapa band Medan: Cherrycola, Korine Conception, Beautiful Monday, OINX, The Changis, Garden, dan MTDK, berniat ingin membuat sebuah album kompilasi lagu ciptaan mereka sendiri. Tentu ini adalah sebuah langkah kreatif yang perlu didukung. ”Sayangnya, mereka terkendala dana,” ujar Reza.

Reza pun turun tangan dengan ”kucuran” dana pribadinya. ”Waktu itu belum berdiri Huria Record,” katanya. Maka, Reza pun mulai ”sibuk”; mulai dari proses pencarian studio rekaman dan mixing, mencari desainer cover album, hingga terlibat soal distribusi album.

Nah, di sinilah awalnya terpikir untuk mendirikan label ”Huria! Record” untuk melabeli album itu. Maka, album kompilasi yang diberi judul ”Let’s Push Things Forward” itu pun dirilis sebanyak 250 keping. ” Alhamdullilah, semua keping album habis terjual,” ujar Reza. Dan langkah itu pun berlanjut hingga sekarang.

Gebrakan Reza memang masih langka di Medan. ”Tapi di Jawa, langkah
semacam ini sudah banjir,” katanya. Ia mencontohkan sebuah band indie asal Bandung ”The Milo”, yang sukses setelah melalui proses yang sama. Sekaligus, ternyata mendapat respons dari penikmat musik, di luar label mainstream.

Selain itu, Reza juga menilai inilah saatnya bergerak untuk menaikkan martabat band Medan, yang sebenarnya tak sedikit yang berpotensi sukses menembus label nasional.

Sayangnya, mereka masih berharap tembus di label mainstream. Alhasil, nasibnya begitu-begitu aja. ”Sudah capek-capek latihan dan bikin lagu, paling hebat manggung sesekali kalau ada even musik. Kan, sia-sia?,” katanya.

Gebrakan kedua

Saat ini, Reza sedang merampungkan pembuatan album band Korine Conception, band indie Medan beraliran ”Shoegaze”; aliran musik ini pertama kali muncul di Inggris pada dekade 80-an, dengan beberapa band pelopornya, seperti Bloody Valentine, The Dive dan Sigus Ros.

Meski album ini beresiko besar dikarenakan aliran musik yang diusung Korine Conception masih terdengar awam, namun sesuai kesepatakan Reza dan band, album perdana ini rencananya akan dirilis sebanyak 1.000 keping. Rencananya album ini akan dikeluarkan pada akhir Februari mendatang.

”Untuk Medan, mungkin masih beresiko,” jelas Reza. Namun, ia sudah menembak beberapa kota besar untuk distribusi album, seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. ”Di sana aliran musik seperti ini tidak baru lagi,” tambah Reza.

Ini adalah gebrakan kedua ”Huria! Record” setelah sukses memproduksi album kompilasi ”Let’s Push Things Forward”. Selain itu, untuk mendukung wawasan bermusik anak band Medan, Reza juga menyediakan perpustakaan musik dengan gratis di “kantornya” yang beralamat di Jalan Setia Budi, Komples NCC No. 9 C itu.

Setidaknya langkah berani sudah dimulai Reza untuk mengangkat martabat musik Medan. Juga dukungannya yang tak main-main. Selanjutnya, ”Semoga anak Medan sendiri mendukung dengan mulai lebih kreatif lagi,” katanya. Ayo, anak band Medan, cemmana!

“Matahari” Band: "Major Label Masih Impian"

Meski sudah tiga tahun lebih berdiri, sementara impian untuk mendapat lirikan dari pelaku industri muski belum juga kesampain, Matahari Band tidak begitu saja pesimis. Meski demikian, band yang digawangi empat personil yang masing-masing merupakan pentolan dari beberapa band yang pernah eksis di Medan itu, tetap konsisiten untuk melangkah maju.

Mungkinkah “Matahari”, band yang dibetuk sejak 2003 oleh lima personil yang terdiri dari Jeffrey Pardede (gitar/vokal), Roy (bass), Harif (drum) dan Ade (keybaoard) itu, akan menjadi band yang tidak sekadar eksis? Padahal, bukan rahasia lagi kalau band asal Medan masih dicap minim kreatifitas. Sehingga tidak mengherankan jika geliatnya belum menggreget.

“Paling tidak kami sudah berupaya,” ujar Jeffrey Pardede, sang gitaris yang sebelumnya adalah pentolan group band @Plus, band Medan yang sempat dikenal dengan citra musik romantis dan sering menjadi bintang tamu pada even-even musik kampus itu.

Selama eksis, setidaknya Matahari telah memiliki 15 buah lagu ciptaan sendiri. Tiga di antaranya adalah lagu andalan, yang disertakan dalam “promo kit” (materi promosi yang terdiri dari sampel rekaman lagu dan biografi band), yang nantinya siap diandalkan kepada industri musik berlabel major.

“Promo kit pertama sudah kita buat kemarin ketika mengikuti audisi untuk menjadi band pembuka pada even musik Rock United, tahun lalu di LANUD Polonia Medan. Syukur, kita lolos seleksi pada saat itu. Dan mendapat kesempatan untuk main sebagai band pembuka beberapa band-band Jakarta yang sudah memiliki nama besar,” ujar Jeffrey, saat diwawancarai seusai latihan di sebuah studio musik di Padang Bulan, baru-baru ini.

Waktu itu, rekaman dilakukan di Studio Biru Medan dengan biaya Rp 3 juta yang berasal dari personil sendiri. “Kita belum punya manajer. Untuk saat ini, kita mengelola band secara internal,” ujar Jeffrey.

Tak henti di situ saja, band beraliran Pop Rock itu rencananya akan membuat rekaman lagi di Studio Trinity Jakarta. “Kita belum memastikan berapa biayanya. Tapi, yang pasti biayanya akan lebih besar. Mudah-mudahan hasilnya lebih bagus,” ujar Jeffrey.

Hasil rekaman ini nantinya akan mereka lemparkan kepada pelaku industri rekaman berlabel major. “Soal diterima atai tidak diterima itu soal belakangan. Namun paling tidak inilah kreasi kami,” ujar anggota band berharap.