
Ada beberapa nama yang akan disebut-sebut menjadi ikon Hiphop Medan dewasa ini. Penilaian ini didasarkan pada eksistensi mereka. Bukan hanya eksistensi sebenarnya, tapi juga bagaimana mereka menjawa eksistensi mereka itu dengan karya. Baik mereka mereka yang bergerak di empat batang tubuh Hiphop itu sendiri: Rapper (Microphone Controller), Grafity, Turntablis dan Breaker.
Orang Medan dewasa ini mungkin baru mengenal Hiphop setelah mendengar “50 Cent”, “Eminem” atau “Black Eyed Peas”, yang bagi sebagian pengamat Hiphop genre yang mereka bawakan itu merupakan terobosan baru dalam kancah Hiphop sendiri. Padahal, di Medan diam-diam Hiphop sebenarnya telah lama tumbuh bak jamur. Menyerap perlahan hingga tumbuh menjadi sebuah yang bisa dikonsumsi, atau sebalikanya dianggap sebagai “racun”, yang memperahuri “sub-culture” kita. Namun, itu tergantung persepsi orang menilainya, bukan?

Ok. Itu masih rap. Bicara soal B’Boy Medan, maka sangatlah tidak “respect” jika tak menyebut beberapa komunitas ini: Medan Street B’Boyz (MSB), IBO Breakinz, Popgank Anak Lantai, Kinniku Squad, Oroginal Baby Rock, S.O.G, Crushxable maupun Lowbat. Jumlah yang tak sedikit jika mengetahui bahwa komunitas seperti ini baru mulai tumbuh di Medan sejak 2003.
“Jumlah ini, sebenarnya drastis. Sebelumnya, Medan tak pernah memiliki komunitas breaker. Mungkin ada, tapi namanya tak pernah kedengarannya,” ujar Asep dari MSB.
“Perjuangan Rapper lokal”
Akhir 2007 lalu, Ucok Munthe (29) merilis album “Aku dan Diriku”. Ini adalah album pertama Ucok yang langsung mengusung namanya setelah beberapa kali terlibat dalam penggarapan album kompilasi dengan beberapa rapper, baik dari Medan maupun luar. Album ini terdiri dari 12 hits yang ia garap selama 2 bulan lebih bersama tiga “beat maker”: Tora Tobing, Mahendra Ginting, Manu (Prancis); juga melibatkan Hanna (singer) dan Jere (rapper). Namun, ada satu yang menarik dari album ini, yakni sebuah tulisan berlatar banner hitam putih: “Perjuangan Rapper Lokal".
Ya, merebaknya komunitas Hiphop di Medan memang telah membuktikan bahwa Hip-hop tidak baru saja eksis di Medan. Maka, seperti kata Ucok yang bernama lengkap Ardiansyah Munthe itu, album ini adalah satu jawaban dari eksistensi itu. Tak salah juga jika album ini dibubuhi kalimat itu. Sebab, album ini sendiri memang masih bernaung di bawah label indie. Digarap bersama di sebuah studio rekaman Medan. Setidaknya jelas bahwa album ini adalah satu wujud perjuangan generasi Hiphop Medan, yang rupanya tak ingin sekadar eksis. Album ini sekaligus menjelaskan bahwa Ucok tak ingin dicap sebagai generasi Hip-hop yang hanya “maniak”. Tanpa kreatifitas.
"Saya tak akan berani mengaku seorang rapper, kalau saya belum punya karya," jelasnya. Seseorang layak dikatakan rapper jika mampu mengekspresikan apa yang ia lihat dan ia rasa dengan ‘style’- rapnya sendiri. Dengan spontan. Yang juga tidak selalu mengalunkan karya rapper lain. "Sekalipun memang itu tak ada salahnya, ” jelasnya.
RAP adalah satu di antara cabang Hip-hop yang mendapat peran aktif dalam perkembangan Hiphop, selain “grafity”, “breaker” dan“turntablism”. Seperti kata Ucok, Rap adalah ekspresi jiwa dari yang dilihat dan dirasa. Rap bukan hanya sekadar nyanyian. Tapi, lebih pada alunan kata demi kata yang biasanya dialunkan dengan super cepat. Rap juga bukan sekadar harmonisasi musik. Tapi, lebih pada hentakan beat. Beat adalah jantungnya Rap.
Maka, pernyataan Ucok tak meleset dari apa yang ia utaran dalam lirik “Satu Mikropon”, yang direkam di album kompilasi “Hip-hop tanpa Tembok” pada 2005. Di album yang ia garap bersama rapper Medan lainnya itu, dengan “lantang” Ucok menegaskan:
“Hip -hop adalah jiwa yang bernafaskaan proses perjuangan hingga menjadi wadah. Akar pohon dari empat cabang yang hidup, RAP adalah ekspresi jiwa lewat kata-kata yang beralun menyampaiakannya secara spontanitas maupun yang sudah ada dari keadaan yang dilihat, didengar dan dirasa.”
Namun, seorang generasi Hiphop bukan berarti harus "terjun bebas" pada keempat cabangnya. "Rapper punya bagiannya. Begitu juga 'breaker', 'grafity' dan 'DJ'. Meski tak menguasai keempatnya, namun paling tidak mengetahuinya secara umum," jelas Ucok, yang mengaku pertama kali mengenal Rap setelah mendengar Farid Hardja (alm - Red) dan Iwa K itu.
"RAP adalah satu di antara cabang Hip-hop yang mendapat peran aktif dalam perkembangan Hiphop, selain 'grafity', 'breaker' dan 'turntablism' ..."
Perjuangan rapper lokal, barangkali buan hanya sekadar slogan bagi Ucok. Sebelum album ini ada, Ucok telah berbagai tahapan yang tidak singkat. Pada 1998, Ucok telah membentuk "Deli Tua Rapper Club", yang didirikannya dengan Joshia Julpri Tarigan. "Sayang, Julpri lebih dulu dipanggil Tuhan," ujar Ucok.
Sebelumnya, bersama Julpri, Ucok "terbang: ke Jakarta dengan modal 9 aransmen rap yang mereka garap bersama. Album ini diberi nama "Berontak". "Kami ingin menembus label major," kenang Ucok. Hits mereka sudah sempat di atas meja Musica Record, sasaran mereka. Namun sayang, album mereka tergeser oleh "7 Kurcaci", saingan mereka saat itu. "Kami anggap itu kegagalan yang tertunda," jelas Ucok, tanpa ingin membeberkan unsur intrik yang menyusupi kegagalan mereka saat itu.
Di Jakarta, Bekasi, 2000, Ucok lalu bergabung dengan komunitas hiphop "Rontak" yang dimotori M Bayu "Lil By'U" Firdaus" pada 1999. "Aku banyak belajar tentang Hiphop di komunitas ini, termasuk pengalaman tampil di berbagai even Hiphop," ujar pengagum rapper Vanilla Ice, MC Hammer dan Salt & Pepper ini.
Dua tahun di Jakarta, Ucok kembali ke Medan. Pada 2001, bersama rapper dari Jakarta, Medan dan Malang, Ucok menggarap album kompilasi rap kedua: "Kembali Berontak". Yang kemudian membuka kesempatan bagi Ucok sementara menjadi "Rapper Entertainer", istilah yang menurut Ucok, "bukan rapper sejati" karena rapper sejenis ini hanya memenuhi keinginan Even Organizer. "Sedang, rapper sejati adalah rapper yang bisa eksis tanpa selalu ada EO. Yang bisa eksis sendiri," komentar ucok.
Tak berhenti sampai di situ, Aldi, "beat maker" asal Malaysia mengajak beberapa rapper Medan, termasuk Ucok, Jaypey dalam penggarapan album rap "Moezafir". Awal 2006, bersama "Infrared", KO 2 & Lilfigh" dan "Taxlore", Ucok kembali terlibat dalam album kompilasi "Hiphop tanpa Tembok". Sempat berkolaborasi dengan DJ Ronald dalam pembuatan demo "Siapa Kali Dirimu." Dan sempat ikut tampil di ajang "Rock United Soundrenaline 2006" di Lanud Medan. "Ini adalah pengalaman manggung paling berkesan buat aku. Karena saat itu, gaung Hiphop terdengar di antara gaung Rock, yang sangat jarang terjadi," ujarnya.
Sebelum "Aku dan Diriku" dirilis, ternyata perjuangan yang panjang telah ditempuh sebelumnya. "Perjuangan ini belum berhenti," jelas Ucok, mengulangi bahwa Hiphop adalah musik yang barangkali sudah menyatu dengan jiwanya. Dan ingin membesarkan namanya di kancah lokal: Medan, yang tak ingin persis menyamai Hiphop di Bronx dengan lifestylenya yang lebih "gila".
"Hiphop di Bronx boleh saja gila, karena itu tak terlepas dari pengaruh sosial mereka. Hiphop yang saya anut tak sejauh itu. Tanpa drugs atau alkohol, Hiphop juga bisa. Dan begitulah aku," ujar lelaki yang bahkan memang bukanlah pecandu nikotin itu. Untuk Medan, ia ingin Hiphop tetap eksis dan independen. Ya, ini adalah wujud perjuangan rapper lokal yang telah menjalani proses panjang. Sekali lagi, "Karena Hiphop adalah bagian dari jiwaku," katanya.
***
Jaypey terlahir dengan nama lengkap Joko Priyono. Perkenalannya dengan Ucok Munthe pada 2004 membuka matanya lebih luas tentang Hiphop. Di usianya yang masih 23 tahun, Jaypey boleh dikatakan sebagai salah satu penggila Hiphop yang tampaknya ingin menjaga eksistensinya. Meski terkadang pesimis, tapi ia yakin. “Suatu saat nanti Hiphop akan besar di Medan. Mungkin belum saat ini,” ujarnya optimis.
Pada 2005 ia juga terlibat dalam penggarapan album kompilasi “Mouzafir”. Namun, ia menganggap itu tak cukup untuk menjawab eksistensinya sebagai rapper. Akhir tahun 2007, ia pun membentuk “One Voice Hiphop Movement”, komunitas Hiphop yang merupakan reinkarnasi dari “Medan Hiphop Community” yang sempat vakum beberapa lama.
Saat ini, bersama 12 grup rapper Medan dan 2 dari Pangkalan Brandan, ia turut terlibat dalam penggarapan album kompilasi “Suara tak Terbatas”. Tracking dan desain album sudah selesai. Hanya saja, “Proyek ini terkandala biaya. Juga minimnya sponsor yang mau terlibat,” jelasnya.
“Dari 15 proposal yang telah kami ajukan, hanya 3 yang mendapat respon. Saya, tidak tahu apakah karena mereka menilai Hiphop tak memiliki prospek komersil. Tapi, walau bagaimana pun, proyek album kompilasi ini akan tetap berjalan,” ujarnya. Meski masih dilabel indie, proses mastering album ini rencanya akan dibuat di Kuala Lumpur, sama seperti album “Moezafir”.
Ucok dan Jaypey hanyalah dua “jamur” Hiphop yang kini sedang berjuang untuk Medan. Selebihnya, langkah yang sama juga turut dilakukan para generasi muda Medan lainnya, meski berjalan di elemen yag berbeda dari akar yang sama. Meski mereka tahu bahwa Hiphop tidak lahir dari akar budaya mereka, namun itu tak jadi soal. Cinta mereka pada Hiphop telah mengalahkan segalanya.
Maka, tak salah jika suatu kali seorang penulis musik James McBride untuk National Geography, dalam artikelnya “Hiphop Planet” menulis: “Dunia saat ini adalah dunia hip-hop”. Hiphop adalah sebuah fenemena kebudayaan yang menjadi universal. Hiphop bukan hanya musik; tapi juga “culture and lifestyle”. Ya, “ we are living in planet hip-hop now”, bro!
No comments:
Post a Comment