
Gitar, alat musik tua ini sebenarnya “ajaib”. Kenapa? Karena selain mampu menghilangkan sumpek dan bikin hati ceria, ternyata juga bisa bikin rupiah di kantong kita menumpuk. Bagaimana caranya? Tanya saja kepada Amran Lubis “gitaris apoteker” yang mengawali profesinya dari hobi.
Bosan “genjrang-genjreng” dengan musik kawula muda pada dekade 70-an dengan hiruk pikuk The Beatles dan sejenisnya, gitaris yang juga bekerja sebagai apoteker di sebuah apotek ini pun pindah ke musik klasik. “Saya ingin sesuatu yang lebih, yang bukan sekadar musik,” katanya kepada Global di ruang tempat ia menghabiskan hari-harinya sebagai guru gitar klasik di Era Musika Medan.
Maka selepas menamatkan SMP di Penyabungan, Madina pada 1976, Amran pun hijrah ke Kota Medan dan melanjutkan sekolah menengah atas (SMAN 5) sambil mengikuti kursus gitar klasik di Era Musika ketika beranjak ke kelas dua.
Tujuh tahun ia tekun belajar di bawah bimbingan dua orang guru gitar, Boyke lalu pindah kepada Tat Chu. Keduanya merupakan guru gitar pertama Era Musika yang pada masa itu masih berlokasi di kawasan Kesawan Medan. “Nah, dari mereka saya mulai serius dengan musik klasik mulai dari teori dan permainan sesungguhnya. Tapi saya tidak lupa sekolah dan melanjutkan perkuliahan,” katanya.
Amran ternyata begitu ngotot tapi tidak membangkang orangtua. “Orangtua saya sebenarnya lebih mengingini anaknya menjadi seorang sarjana teknik atau sejenisnya, yang penting sekolah di jalur formal,” katanya. Sehingga pada kursus gitar, orangtuanya hanya mampu membiayainya selama dua tahun. “Memang saat itu kondisi perekonomian orangtua saya sedang tidak stabil, karena ayah saya baru saja meninggal dunia,” kenangnya.
Berkat anjuran orangtuanya, Amran pun ikut Sipenmaru dengan mengambil jurusan Teknik dan MIPA jurusan farmasi pada tahun 1979. “Untungnya saya lulus di fakultas MIPA jurusan farmasi di Universitas Sumatera Utara, sehingga orangtua saya pun berhasil saya yakinkan,” katanya.
Kuliah Sambil Ngajar Gitar
Meski demikian Amran tidak melupakan gitar dan cita-cita sebenarnya, yaitu menjadi seorang guru musik. “Saya tidak tahu, dari kecil saya sudah terobsesi menjadi seorang guru musik,” katanya tersenyum. Tapi waktu itu ia dipaksa oleh keadaan, ketika orangtua tak sepenuhnya yakin dengan masa depan seorang musisi.
Menjalani tingkat empat perkuliahan atau setelah tujuh tahun menimba ilmu gitar klasik, Amran bertemu dengan T Koitzumi, seorang instruktur gitar klasik Jepang selaku penasihat yayasan musik spesialisasi gitar klasik yang berada di bawah lisensi Yamaha Coorporation Indonesia. Pada waktu itu, tahun 1986, Yamaha sedang mencari instruktur baru dan mengadakan audisi pada gitaris-gitaris muda Kota Medan.
“Dalam audisi itu Koitzumi senang dengan penampilan dan cara pengajaran saya di hadapan beberapa petinggi-petinggi gitar klasik lainnya. Tapi akhirnya saya lolos dan sejak itu saya resmi menjadi guru gitar seperti yang saya cita-citakan,” kenang Amran.
Dari situ Amran mulai mandiri. Mulai dari membiayai perkuliahan tanpa sepenuhnya lagi berharap dari orangtua hingga kebutuhan lainnya. Tapi jangan heran kalau Amran telat menyelesaikan kuliahnya. “Tapi saya tak pernah menyia-nyiakan kuliah saya, sebab bagi saya itu juga penting seperti yang dikatakan orangtua saya. Maka meski terlambat saya terus bertekad untuk menyelesaikannya,” katanya. “Jangan heran jika saya juga mampu me-manage sebuah apotek dan hapal betul banyak jenis-jenis obat-obatan,” katanya.
Amran memang seorang guru gitar tapi juga seorang apoteker. “Jelas dari gitar,” katanya sedikit keberatan, ketika menjawab dari mana sumber penghasilan rupiahnya yang terbesar. Memang ia bukan saja mengabdi di Era Musika.
Rezeki pun mulai berdatangan. Maka pada tahun 1989 Amran diminta menjadi dosen musik di Fakultas Kesenian Universitas HKBP Nommensen Medan yang masih ditekuninya hingga saat ini.
Dari situ pun ia berkenalan dengan Edward Van Ness, seorang Amerika yang juga dekan di fakultas itu dan memintanya mengajar di Medan Internasional School (MIS) Medan. Saat itu Edwad memang sedang membentuk sebuah program ekstrakurikuler di bidang musik, khusus bagi sekolah-sekolah yang mayoritas muridnya adalah orang-orang Eropa yang tinggal di Medan. “Nah, ia lantas memanggil saya dan menetapkan saya sebagai instruktur gitar di sana,” katanya.
Tapi sayang, kata Amran. Kedua putrinya tak sepenuhnya mengkuti langkahnya. Meski sebenarnya ia tak menginginkan agar talenta gitarnya menurun pada kedua putrinya. Tapi Amran bertekad menjadikan gitar klasik menjadi musik yang dicintai semua orang, khususnya anak muda yang saat ini “heboh” diguncang musik pop. Di samping itu ia juga ingin menunjukkan para orangtua bahwa bergelut di musik sejak dini juga dapat menjanjikan masa depan cerah pada anak-anak.
Ditanya soal prestasi, Amran pun menyayangkan masa-masa ketika ia sedang bertekun di gitar di masa mudanya. “Pada masa-masa itu, sangat jarang event-event perlombaan gitar, sehingga banyak gitaris yang tidak kesampaian melampiaskan kemampuannya,” ujarnya. “Maka, jalan satu-satunya adalah menjadi guru, karena inilah jalan satu-satunya untuk hidup di gitar,” cetusnya.
Itulah Amran yang tak akan pernah melepaskan gitarnya dari rangkulannya. Karena kini ia hidup untuk gitar dan gitar telah memberinya hidup. “Kini saya sadar gitar telah menjadi bagian dari hidup saya, yang tak menyesal memilikinya,” katanya (TS).
All Right Reserved
No comments:
Post a Comment