
Dekade 1980’ an hingga 1990’an adalah masa kejayaan musik rock di Kota Medan. Inilah masa di mana pernah tersebut slogan “ Belum menjadi rocker sejati jika belum ‘melewati’ Medan. Jika kamu seorang rocker, datanglah ke Medan.” Artinya, dekade itu adalah masa di mana musik cadas menjadi pujaan anak muda Kota Medan. Rock dipuja. Rock, sekaligus, telah menjadi simbol identitas dan gaya hidup. Mereka memuja Led Zeppelin dan Deep Purple, Rolling Stones maupun Jimmy Hendrix. Hingga, para virtuoso gitar Joe Satriani, Steve Vai, Rictcie Blackmore, Jimmy hingga Ingwy Malmsteen.
Masa itu adalah masa di mana musik rock merajai anak band Medan. Seorang gitaris yang sempat berkiprah pada masa itu mengenang, Seorang pemain band pasti akan mudah dikenali; baik dari penampilan maupun karakternya yang “ngerock”. ”Dia pasti anak band!” kenang Savril, satu di antara mereka. Ya, begitulah Medan saat itu dengan realitas musikalnya.
Maka tersebutlah sederetan grup band rock Medan yang “giginya” dianggap tajam dan sering merajai panggung rock Medan saat itu, seperti Stoorm V, Cobra, Challenger, Prince, Straightmore, Outsiders, dan masih banyak lagi. Inilah juga masa yang telah melahirkan beberapa gitaris rock, yang namanya masih dihormati hingga saat ini. Mereka di antaranya, Bang Kecap, Pay (pentolan Slank yang kemudian menjadi salah satu motor BIP), Savril Rizal sendiri.
Juga, beberapa nama yang belakangan juga didaulat menjadi jawara gitar rock Medan. Di antaranya, Johannes Dolok, Astro, Malvin (pernah menjadi gitaris “Crossroad” dan “Edelweiss”), Bengbeng (“Sunset”), Sampe Sarman (Edelweiss, lalu menelurkan album solo gitar “World” dan “Affection”), Ganda (“Janoor”), dan sederet nama gitaris lainnya.
Namun, memilih hidup menjadi musisi (gitaris – Red) untuk Kota Medan ternyata tak selalu menjanjikan banyak hal. Terlebih ketika mereka dihadapkan pada realitas industri musik Medan yang jatuh dan bangkit kembali. Maka, tak jarang sebagian dari mereka “berlari” meninggalkan identitasnya sebagai musisi. Lalu, memilih bekerja sebagaimana orang awam lakukan.
Meski demikian, menjadi musisi, sekalipun terkadang meragukan untuk dijalani di kota ini, namun ada sebagian yang tetap eksis. Lantas, bagaiamanakah mereka menjawab eksistensi mereka itu?
Dari klasik ke rock
Ketika ditanya mengapa Savril Rizal memilih hidup menjadi gitaris rock, dengan enteng lalaki berambut gondrong ini menjawab: “Ada kepuasan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, selain kebanggan tampil di atas panggung. Savril, tak asing lagi namanya, adalah gitaris yang saat itu sering didaulat menjadi jawara gitar rock Medan.
Setidaknya, tujuh piala “The Best Guitar” dari berbagai ajang festival rock di masa kejayaan rock Medan dulu masih tertata rapi hingga kini di raknya di “Studio 18” miliknya di Jalan Gagak Hitam 18 Medan. "Itu semua kenangan hasil perjuangan dulu," ujarnya tertawa kecil lalu mengisap kreteknya.
Di usia 10 tahun, Savril mengaku telah jatuh cinta dengan gitar. Sepulang sekolah, ia biasa menghabiskan waktunya berja-jam dengan gitar. Lewat buku, majalah dan kaset ia belajar secara ototidak. Itu jauh sebelum ia mengenal musik rock.
Namun jujur, kata Savril, “Saya telah jatuh cinta lebih duluan dengan musik klasik sebelum musik rock,” katanya. Itu ketika pertama kali ia mendengar lagu Ebiet G Ade: "Lolong", direkam dalam album "Camellia 1” yang sering diperdengarkan di tahun 1980’an.
Inilah yang lantas memacu minat Savril untuk lebih serius mendalami gitar klasik. Hingga suatu saat abangnya yang tinggal di Malaysia mengiriminya buku gitar klasik serta sejumlah kaset gitar klasik rekaman John Williams. “Siang malam saya tidur bisa tidur karena gitar klasik,” kenangnya. Repertoir gitar klasik “Requedos del Alhamra” gubahan gitaris Fransesco Tarrega yang dimainkan John Williams telah memikatnya. Ia terhanyut dibuatnya. Savril bahkan pernah menimba ilmu gitar klasik di Kuala Lumpur selama setahun.
Namun kemudian ia sadar dengan fenomena musik yang saat itu sedang terjadi di Medan. Gaharnya musik rock saat itu perlahan mempengaruhi “sense of musical” Savril. “Kalau dulu, anak band itu sepertinya beda. Sering tampil di panggung. Disoraki dan disanjung banyak penonton,” kenangnya.
Situasi inilah yang kemudian memotivasi Savril untuk pun membentuk band. Formatnya adalah rock. Yang garang dengan skill yang juga tak kalah menantang inspirasi. Lalu, bersama bandnya ia pun mulai berjuang di panggung rock Medan.
Savril semakin mencintai rock. Dan bangga menjadi gitaris rock. Namanya pun mulai dikenal karena sering menyabet predikat gitaris terbaik di berbagai even musik rock. Ini semakin memuncak ketika ia bertemu dengan Pay yang tinggal di Stabat dan saat itu sudah memiliki band bernama Cobra.
"Dari Pay, saya banyak belajar hal. Ia sekaligus sahabat yang baik buat saya," katanya. Bersama Savril, Pay yang saat itu sempat dianggap "anak Potlot" yang hilang kembali ke Jakarta pada 1986. Setahun kemudian, Pay bergabung dengan Slank.
"Susah senang saya alami dengan Pay selama di Jakarta," sambung Savril. Namun, kenyataan untuk bisa eksis di Jakarta belum sampai ke tangan Savril, seperti yang sudah diraih Pay. Maka, sepulang dari Jakarta, Savril kembali ke Medan dan bergabung dengan beberapa musisi Medan lainnya. Bersama bandnya, lalu berangkat menjadi band penghibur di sebuah cafe di Bali.
Sekembalinya dari sana, pada 2001 ia pun membuka studio musik dan rekaman. Di tempat ini saya ingin membimbing adik-adik yang ingin serius di musik. "Saya ingin suatu saat nanti, ada band yang bisa membanggakan Medan berkat didikan saya," ujarnya optimis.
Perjuangan tanpa henti
Dunia kecil Johannes Dolok, 38 tahun, gitaris Medan yang dikenal dengan gaya permainan gitarnya yang khas itu, adalah dunia yang dekat dengan musik. Ibunya, M Manullang adalah seorang pemain gitar klasik yang lantas menurunkan kemampuannya musikalnya kepada anak-anaknya.

Tapi, sejauh ini orang Medan pasti lebih mengenal Dolok sebagai gitaris rock yang garang. Yang biasa mendudukkan atau bahkan menidurkan gitarnya sambil memainkan teknik "tapping" di antara freet dan senarnya di hadapan penggemar musik rock.
Tak jauh beda dengan Savril, Dolok juga mengalami begitu beratnya dorongan untuk beralih ke rock. Bedanya, Dolok sedikit dibumbui adegan yang lebih dramatis soal peralihan itu.
Dolok mengisahkan, suatu kali ketika ia sedang latihan karate ia mengalami kecelakaan yang lantas meremukkan buku-buku tangan kanannya. “Waktu itu saya memukul riol yang lantas meremukkan tangan saya sehingga dalam waktu yang lama saya tidak lagi bisa memetik gitar klasik. Jari tangan kanan saya jadi kaku,” kenangnya.
Nah, di sinilah Dolok mulai mencoba mengenal gitar listrik yang biasanya hanya menggunakan “clever” untuk memetik senar-senar gitar. “Saya juga melihat saat itu, ternyata musik rock itu tampaknya lebih seru. Apalagi waktu itu cukup sering diadakan festival band. Sejak situlah saya mulai mempelajari gitar listrik,” jelas gitaris yang kemudian sering menjadi sorotan di antara penggemar musik rock Medan itu. Termasuk Ngumban Brahmana, pemilik Lowrey Music Studio, yang menawarinya untuk mengembangkan ilmu gitarnya ke Bandung.
Berkat rekomendasi dan dukungan materi dari Ngumban Brahmana, maka pada 1990 Dolok pun berangkat ke Bandung dan belajar gitar kepada seorang guru gitar jazz, Yono AR secara intensif selama setahun lebih. “Tapi, saya lebih mendalami unsur rocknya. Karena lebih akrab di telinga saya,” ujar Dolok.
Sepulang dari sana, pada 1991, Dolok diangkat menjadi instruktur gitar. Selain itu, ia juga makin sering mengikuti kompetisi musik rock yang diadakan di Medan hingga Aceh. “Ketika main solo gitar di Aceh, saya diminta tinggal di sana, tapi saya tidak mau,” katanya.
Tahun 1996, Dolok tak lagi mengajar di Lowrey Music Studio. Dan memilih mengajar di rumahnya hingga saat ini. “Hingga saat ini, saya tetap mengajar gitar di sini,” ujarnya menunjuk ruangan kecil di belakang rumahnya yang beralamat di Jalan Pengayoman, Gaperta. “Mereka datang langsung ke mari. Dan saya bangga, tak sedikit murid saya yang berhasil saya didik menjadi gitaris berbakat,” sambungnya.
Tak sedikit penghargaan yang sudah diraih Dolok, hingga ia pun dianggap sebagai salah satu gitaris yang paling prestisius di Kota Medan. Kelebihannya adalah kemampuannya memaikan gitar dengan teknik yang tak bisa dilakukan oleh banyak gitaris Medan, yakni dengan memainkan komposisi melodi gitar dengan teknik “tapping”, sementara gitar didudukkan. Belakangan, dia berhasil meraih juara II Festival Gitar Fender pada 2002, meski tak sedikit yang melarangnya untuk ikut dalam kompetisi itu dengan alasan senioritas.
Meski nama Dolok sudah besar di Medan, namun ia mengaku kepuasan untuk menjadi musisi untuk kota seperti Medan masih jauh dari yang ia harapkan. Ia mengeluhkan minimnya wadah untuk menampung bakat para musisi Medan yang belakangan ini lebih maju.
“Sayang sekali, banyak musisi Medan yang berbakat, tapi tak punya wadah. Belum ada orang yang mau invest di bidang industri musik MEdan. Makanya, mereka terpaksa berjuang sendiri,” komentarnya.
Hal lain, Dolok juga mengeluhkan para pengusaha hiburan di Medan yang kurang menghargai musisi. “Mereka dibayar terkadang tak sesuai. Ya, daripada tidak eksis, musisi terpaksa menerimanya walau kecil,” jelasnya. Inilah juga alasan mengapa Dolok lebih memilih bersolo karir; baik sebagai pengajar, tampil pada even musik dan menjadi juri dalam berbagai festival.
“Bersolo karir lebih nyaman. Saya punya banyak waktu luang,” ujarnya. “Bukannya saya tidak suka untuk membentuk band dan menjadi penghibur di café-café, tapi dari yang saya lihat, hal itu tak menjanjikan. Pengusaha hiburan membayar mereka terlalu kecil,” sambungnya.
***

Sebelumnya pada 2004, lulusan Fakultas Sastra Unika St Thomas itu juga telah menelurkan “The World” berisi 12 intrumen solo gitar yang ia garap secara indie. Setahun kemudian, dengan format yang tak jauh berbeda ia kembali mengeluarkan album “Affection”, berisi 14 intrumen solo gitar, karyanya.
“Saya tahu, banyak orang yang tidak yakin dengan performa musik anak Medan. Tapi kalau kita menyerah hanya karena anggapan sinis itu, maka tak akan ada yang berubah dengan musik Medan,” ujar pengagum Joe Satriani dan Kee Marcello (gitaris Europe) itu.
Perjuangan Sampe tak mudah. Sebagai gitaris, ia juga memasarkan sendiri kedua karyanya itu. “Saya distribusikan lewat studio-studio dan rekan-rekan sesama musisi. Inilah upaya kita sementara. Target kita yang paling utama adalah ingin mendapat lirikan label major Jakarta. Mudah-mudahan. Suatu saat nanti,” katanya.
Savril, Dolok dan Sampe hanya tiga di antara banyak musisi Medan yang telah berjuang demi eksistensi sebagai musisi (gitaris – Red) di kota seperti Medan. Memang tak mudah. Namun, setidaknya mereka telah melakukannya. Sekaligus, menunjukkan bahwa Medan juga punya potensi.
No comments:
Post a Comment