Rupanya hobi tak hanya bisa membuat orang bahagia. Bagaimana pula rasanya menekuni sebuah pekerjaan yang berawal dari hobi. Tentu lebih puas dan lebih indah rasanya. Setidaknya itulah yang dialami Jubing Kristanto, yang melanglang hidup dari jurnalis ke gitaris. Ia kini lebih dikenal sebagai gitaris klasik Indonesia. Karena gitar, namanya bahkan ikut diukir di Museum Rekor Indonesia.
Ketika bergelut di dunia jurnalistik (wartawan, redaktur dan redaktur pelaksana) selama 13 tahun di salah satu tabloid nasional terkemuka, penghasilan Jubing memang lebih besar dibandingkan dengan profesinya menjadi gitaris seperti sekarang. Tapi, baginya kekayaan finansial bukanlah tujuan satu-satunya bermain gitar. Kepuasan batin dan kebahagiaan bisa menghibur orang adalah motivasinya. Inilah integritas bermusik seorang Jubing.
“Dibanding saat masih di industri media, total penghasilan per tahun jelas kalah. Begitu juga keamanan dalam hal aneka tunjangan. Namun kalau untuk hidup secukupnya, mengajar gitar dan main gitar pun bisa hidup. Dan saya sudah membuktikannya. Memang tidak bisa jadi kaya secara finansial,” katanya.
Gitar klasik, jika dibandingkan dengan alat musik lainnya, memang hanya diminati sedikit kalangan saja. Gitar sering diidentikkan sebagai alat musik pengamen jalanan yang kalah gengsi dengan piano, biola, elekton dan alat musik lainnya. Gitar malah dianggap tak lebih dari alat musik pengiring belaka, sekadar untuk digenjrang-genjreng. Tapi, nasib gitar bisa berubah di tangan Jubing. Gitar membawanya sejuta nilai: keyakinan, perjuangan dan pengorbanan, yang pada akhirnya ia menikmati manisnya. Mau tahu buktinya?
Beruntung Jubing memiliki orangtua yang mengerti talenta anaknya. Untungnya lagi, orangtua Jubing sendiri adalah pecinta musik yang bisa bermain gitar meski bukan sekelas profesional. Maka guru gitar pertamanya adalah orangtuanya.
Usia 12 tahun, Jubing sudah tampil mengiringi teman-teman sekolahnya dengan gitar di sebuah konser publik. Dua tahun kemudian ia bertekad serius belajar gitar klasik gara-gara terpesona menyaksikan kawannya bermain gitar tunggal. Sejak itu ia mulai belajar kepada Suhartono Lukito di Sekolah Musik Obor Mas Semarang. Setahun kemudian, ia pun jadi finalis Festival Gitar Indonesia 1982 untuk bagian bebas.
Wartawan merangkap gitaris
Pertengahan April kemarin, Jubing (begitu ia akrab disapa), tampil dalam konser Kwartet Punakawan di Tokyo Jepang dengan pianis Jaya Suprana, yang juga dikenal sebagai pendiri MURI.
Sebelumya, bersama dua personel Kwartet Punakawan, Heru (bas) dan Juned (perkusi) ia pun tampil dalam konser di gedung Konser ABC Radio di Melbourne Australia, Agustus 2006 lalu. Ini memang bukan pertama kali Jubing melanglang ke luar negeri karena gitar. Pertama kali pada 1984, diusia 18, ia berangkat ke Hongkong atas utusan Yayasan Musik Indonesia (YMI) Pusat mengikuti festival tingkat Asia Tenggara.
Festival yang berlangsung di Academic Community Hall, Hongkong, 9 Desember 1984 itu memberinya penghargaan Distinguished Award, setelah memainkan komposisi jazz Captain Caribe karya Earl Klugh dan lagu pop We're All Alone.
Inilah awal prestasi Jubing. Beberapa kali festival gitar yang diselenggarakan yayasan musik terkemuka di Indonesia -Yamaha-berhasil disabetnya, mulai dari dua kali meraih “runner up” hingga empat kali meraih “grand prize” pada bagaian kompetisi “Free Section”.
Semasa kuliah, antara tahun 1986- 1987 selain berfestival, Jubing juga memberi les-les privat dan ikut bermain band di kampus. Ia juga sempat mencicipi masuk studio rekaman berkat bantuan temannya Djono, mahasiswa antropologi yang sering mengajaknya ngeband.
Kemudian, seorang teman—Renee Nessa Sahir gitaris kini tinggal di Amerika Serikat—menawari Jubing untuk menggantikan posisinya mengiringi tamu-tamu yang sedang menikmati makan malam di Indonesia Petroleum Club (IPC), Jakarta.
Setamat dari UI, Jubing kemudian bekerja di tabloid terkemuka. “Ternyata menyenangkan juga menjadi reporter. Selalu berkeliling berbagai tempat dan bertemu macam-macam orang,” kata Jubing mengenang. Tapi bukan berarti ia menggantungkan gitarnya. Selama menjadi wartawan, di sela kesibukan bekerja, Jubing pun tak lupa gitarnya. Ia juga sempat berguru selama dua tahun pada Arthur Sahelangi.
Selain itu, Yayasan MURI memberinya penghargaan atas karyanya mengangkat martabat gitar klasik atas karyanya “Gitarpedia: Buku Pintar Gitaris” diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Ia juga menjadi orang Indonesia pertama yang menampilkan aransemen dan komposisi orisinal solo gitarnya lewat situsnya: www.geocities.com/jubing. Lewat situs pribadi itu pula karya-karyanya mulai dikenal dan dimainkan gitaris di berbagai negara. Capuccino Rumba misalnya, sudah dimuat di majalah gitar Soundboard (2000) yang dikelola “Guitar Foundation of America”. Beberapa karyanya pun menjadi lagu wajib ujian gitar pada sekolah musik Yayasan Pendidikan Musik (YPM), Jakarta. “Begitu kuatnya daya tarik gitar, maka saya memutuskan meninggalkan profesi jurnalis dan beralih menjadi guru dan gitaris profesional,” tulis Jubing.
Nah, Anda tentu punya hobi yang jika diasah dengan serius akan membawa hasil yang indah. Apa kuncinya? Integritas dan perjuangan. Jubing telah membuktikannya (TS).
All Rights Reserved
Friday, March 14, 2008
Jubing Kristanto, dari Jurnalis ke Gitaris
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment