
“Marin X” digawangi duo musisi Medan, yang barangkali namanya tk asing lagi di telinga anak-anak Medan yang gemar dengan aliran musik rock, yang berkarakter energik, didukung dengan kemampuan bermusik yang tak lagi diragukan. Mereka berdua adalah Maringan Siagian (vokalis) dan Sampe Sarman (gitaris).

“Sejauh ini, kita yang ciptakan lagu, rekaman di studio, video klip, promosi dan pemasaran ke stasiun radio dan studio-studio Medan. Ini semua kita lakukan demi konsistensi kita bagaimana agar ‘Marin X’ dikenal oleh masyarakat,” ujar Maringan kepada Global ketika ditemui di Studio Enghteen, Jl Gagak Hitam MEdan, baru-baru ini.
“Marin X” sendiri telah menelurkan album “JAUH” pada pertengahan 2006. Berisi 14 lagu, yang bercerita tentang cinta dan dunia. Proses pengerjaannya sendiri telah memakan waktu selama 4 bulan lebih dengan memakan biaya yang tak sedikit pula.
Album ini tak mungkin bisa ada jika tak ada pihak lain yang rela membantu kita termasuk beberapa musisi, kata Maringan. “Seperti Bang Sapril, (pemilik Studio Eighteen), yang rela meminjamkan studionya untuk kita latihan dan rekaman. Juga kepada Bang Patrick Simangunsong, yang telah memberikan bantuan sejumlah materi untuk pembuatan album ini,” katanya.
Maringan sendiri bukanlah pemain baru lagi dalam kancah musik Medan. Namanya mulai dikenal ketika ia bergabung dengan grup band “Edelweiss”, sebuah grup band rock yang performanya sudah diakui dan sering menjadi bintang tamu dalam berbagai even musik dan café-café di Medan.
“Sebelum di Edelweiss, saya main di Sweeper Band,” kata lelaki yang selama dua tahun lebih pernah menyambi sebagai penjaga parkir dan berjualan hamburger itu. Setelah hengkang dari Edelweiss, Maringan bergabung di Starlight Band. Pindah lagi ke Frekwensi Band hingga saat ini bergabung dengan Fireball Band. Marin X sendiri merupakan proyek di luar aktivitas bermusiknya di Band Fireball sebagai homeband di Rock Café dan Tavern , kata Maringan.
“Affection”
“Kegilaan” Maringan tak beda dengan yang dimilki Sampe Sarman. Sebelum mengerjakan proyek musik Marin X, alumnus yang juga adalah pentolan gitaris Edelweiss ini telah menelurkan dua album solo gitar indie berhaluan rock.
Yang pertama pada 2004, Sampe telah menelurkan “The World” berisi 12 intrumen solo gitar yang bercerita tentang perubahan dunia seiring dengan perubahan manusia. “Dunia berubah, manusia juga ikut berubah. Tapi itu terjadi karena manusia juga. Itulah fenomena kehidupan,” ujar lelaki alumnus Fakultas Sastra Unika St Thomas itu.
Setahun kemudian, dengan format yang tak jauh berbeda ia kembali mengeluarkan album “Affection”, berisi 14 intrumen solo gitar. “Affection itu bercerita tentang dunia yang kerap menghalalakan segala cara. Maka diperlukan kasih (affection) sebagai penawarnya,” tambah gitaris yang dominan mengadopsi komposisi solo gitar Joe Satriani dan teknik Kee Marcello (gitaris Europe) itu.
Keduanya album ini dikerjakan Sampe dengan kerja keras sendiri. “Saya tahu, banyak orang yang tidak yakin dengan performa musik anak MEdan. Tapi kalau kita menyerah hanya karena anggapan sinis itu, maka tak akan ada yang berubah dengan musik Medan,” ujarnya.
Tak beda dengan “Jauh”, Sampe juga memasarkan sendiri kedua karyanya itu, lewat studio-studio dan rekan-rekan sesama musisi. “Inilah upaya kita sementara. Target kita yang paling utama adalah ingin menembus major label Jakarta. Mudah-mudahan,” katanya.
Berkat upaya independen itu, setidaknya sejauh ini nama kedua musisi ini kian tak asing lagi. Sampe sendiri, selain sering menjadi anggota dean juri pada perhelatan musik kampus dan anak muda MEdan, juga dupercaya sebagai sound enginering di Eighteen Studio dan sebuah gereja di MEdan.
“Ya, bekerja di bidang musik memang sudah menjadi pilihan karir saya sejak awal. Sayangnya, dulu saya tidak bisa kuliah di bidang musik karena persoalan biaya kuliah yang mahal,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment