Sunday, March 23, 2008

Balada Gitaris Rock Medan

Seorang Steve Vai telah meninggalkan pekerjaannya lalu “mengurung diri” di studio selama 20 jam dengan gitarnya. Dan siapa yang tak tersugesti ketika ia memainkan repertoirnya: “For Love of God”? Ia kini didaulat menjadi salah satu gitaris dunia paling berpengaruh. Jubing Kristanto juga tak lagi menjadi jurnalis demi gitar klasiknya. Lalu, siapa tak terbuai ketika ia memetik gitarnya tatkala penyair Sapardi Djoko Damono atau Rendra melantunkan puisinya? Ya, menjadi gitaris tampaknya menjanjikan banyak hal. Namun, apakah kenyataan seperti itu juga terjadi dengan gitaris Medan?

Dekade 1980’ an hingga 1990’an adalah masa kejayaan musik rock di Kota Medan. Inilah masa di mana pernah tersebut slogan “ Belum menjadi rocker sejati jika belum ‘melewati’ Medan. Jika kamu seorang rocker, datanglah ke Medan.” Artinya, dekade itu adalah masa di mana musik cadas menjadi pujaan anak muda Kota Medan. Rock dipuja. Rock, sekaligus, telah menjadi simbol identitas dan gaya hidup. Mereka memuja Led Zeppelin dan Deep Purple, Rolling Stones maupun Jimmy Hendrix. Hingga, para virtuoso gitar Joe Satriani, Steve Vai, Rictcie Blackmore, Jimmy hingga Ingwy Malmsteen.
Masa itu adalah masa di mana musik rock merajai anak band Medan. Seorang gitaris yang sempat berkiprah pada masa itu mengenang, Seorang pemain band pasti akan mudah dikenali; baik dari penampilan maupun karakternya yang “ngerock”. ”Dia pasti anak band!” kenang Savril, satu di antara mereka. Ya, begitulah Medan saat itu dengan realitas musikalnya.

Maka tersebutlah sederetan grup band rock Medan yang “giginya” dianggap tajam dan sering merajai panggung rock Medan saat itu, seperti Stoorm V, Cobra, Challenger, Prince, Straightmore, Outsiders, dan masih banyak lagi. Inilah juga masa yang telah melahirkan beberapa gitaris rock, yang namanya masih dihormati hingga saat ini. Mereka di antaranya, Bang Kecap, Pay (pentolan Slank yang kemudian menjadi salah satu motor BIP), Savril Rizal sendiri.

Juga, beberapa nama yang belakangan juga didaulat menjadi jawara gitar rock Medan. Di antaranya, Johannes Dolok, Astro, Malvin (pernah menjadi gitaris “Crossroad” dan “Edelweiss”), Bengbeng (“Sunset”), Sampe Sarman (Edelweiss, lalu menelurkan album solo gitar “World” dan “Affection”), Ganda (“Janoor”), dan sederet nama gitaris lainnya.

Namun, memilih hidup menjadi musisi (gitaris – Red) untuk Kota Medan ternyata tak selalu menjanjikan banyak hal. Terlebih ketika mereka dihadapkan pada realitas industri musik Medan yang jatuh dan bangkit kembali. Maka, tak jarang sebagian dari mereka “berlari” meninggalkan identitasnya sebagai musisi. Lalu, memilih bekerja sebagaimana orang awam lakukan.

Meski demikian, menjadi musisi, sekalipun terkadang meragukan untuk dijalani di kota ini, namun ada sebagian yang tetap eksis. Lantas, bagaiamanakah mereka menjawab eksistensi mereka itu?


Dari klasik ke rock


Ketika ditanya mengapa Savril Rizal memilih hidup menjadi gitaris rock, dengan enteng lalaki berambut gondrong ini menjawab: “Ada kepuasan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, selain kebanggan tampil di atas panggung. Savril, tak asing lagi namanya, adalah gitaris yang saat itu sering didaulat menjadi jawara gitar rock Medan.

Setidaknya, tujuh piala “The Best Guitar” dari berbagai ajang festival rock di masa kejayaan rock Medan dulu masih tertata rapi hingga kini di raknya di “Studio 18” miliknya di Jalan Gagak Hitam 18 Medan. "Itu semua kenangan hasil perjuangan dulu," ujarnya tertawa kecil lalu mengisap kreteknya.

Di usia 10 tahun, Savril mengaku telah jatuh cinta dengan gitar. Sepulang sekolah, ia biasa menghabiskan waktunya berja-jam dengan gitar. Lewat buku, majalah dan kaset ia belajar secara ototidak. Itu jauh sebelum ia mengenal musik rock.

Namun jujur, kata Savril, “Saya telah jatuh cinta lebih duluan dengan musik klasik sebelum musik rock,” katanya. Itu ketika pertama kali ia mendengar lagu Ebiet G Ade: "Lolong", direkam dalam album "Camellia 1” yang sering diperdengarkan di tahun 1980’an.

Inilah yang lantas memacu minat Savril untuk lebih serius mendalami gitar klasik. Hingga suatu saat abangnya yang tinggal di Malaysia mengiriminya buku gitar klasik serta sejumlah kaset gitar klasik rekaman John Williams. “Siang malam saya tidur bisa tidur karena gitar klasik,” kenangnya. Repertoir gitar klasik “Requedos del Alhamra” gubahan gitaris Fransesco Tarrega yang dimainkan John Williams telah memikatnya. Ia terhanyut dibuatnya. Savril bahkan pernah menimba ilmu gitar klasik di Kuala Lumpur selama setahun.

Namun kemudian ia sadar dengan fenomena musik yang saat itu sedang terjadi di Medan. Gaharnya musik rock saat itu perlahan mempengaruhi “sense of musical” Savril. “Kalau dulu, anak band itu sepertinya beda. Sering tampil di panggung. Disoraki dan disanjung banyak penonton,” kenangnya.

Situasi inilah yang kemudian memotivasi Savril untuk pun membentuk band. Formatnya adalah rock. Yang garang dengan skill yang juga tak kalah menantang inspirasi. Lalu, bersama bandnya ia pun mulai berjuang di panggung rock Medan.

Savril semakin mencintai rock. Dan bangga menjadi gitaris rock. Namanya pun mulai dikenal karena sering menyabet predikat gitaris terbaik di berbagai even musik rock. Ini semakin memuncak ketika ia bertemu dengan Pay yang tinggal di Stabat dan saat itu sudah memiliki band bernama Cobra.

"Dari Pay, saya banyak belajar hal. Ia sekaligus sahabat yang baik buat saya," katanya. Bersama Savril, Pay yang saat itu sempat dianggap "anak Potlot" yang hilang kembali ke Jakarta pada 1986. Setahun kemudian, Pay bergabung dengan Slank.

"Susah senang saya alami dengan Pay selama di Jakarta," sambung Savril. Namun, kenyataan untuk bisa eksis di Jakarta belum sampai ke tangan Savril, seperti yang sudah diraih Pay. Maka, sepulang dari Jakarta, Savril kembali ke Medan dan bergabung dengan beberapa musisi Medan lainnya. Bersama bandnya, lalu berangkat menjadi band penghibur di sebuah cafe di Bali.

Sekembalinya dari sana, pada 2001 ia pun membuka studio musik dan rekaman. Di tempat ini saya ingin membimbing adik-adik yang ingin serius di musik. "Saya ingin suatu saat nanti, ada band yang bisa membanggakan Medan berkat didikan saya," ujarnya optimis.

Perjuangan tanpa henti


Dunia kecil Johannes Dolok, 38 tahun, gitaris Medan yang dikenal dengan gaya permainan gitarnya yang khas itu, adalah dunia yang dekat dengan musik. Ibunya, M Manullang adalah seorang pemain gitar klasik yang lantas menurunkan kemampuannya musikalnya kepada anak-anaknya.

"Ibu sayalah guru gitar saya yang pertama. Sebenarnya, bukan hanya saya yang bisa main gitar di keluarga saya, tapi juga adik dan abang saya," ujar gitaris yang akrab dipanggil Dolok itu ketika ditemui di studio gitar sederhana di belakang rumahnya.

Tapi, sejauh ini orang Medan pasti lebih mengenal Dolok sebagai gitaris rock yang garang. Yang biasa mendudukkan atau bahkan menidurkan gitarnya sambil memainkan teknik "tapping" di antara freet dan senarnya di hadapan penggemar musik rock.

Tak jauh beda dengan Savril, Dolok juga mengalami begitu beratnya dorongan untuk beralih ke rock. Bedanya, Dolok sedikit dibumbui adegan yang lebih dramatis soal peralihan itu.

Dolok mengisahkan, suatu kali ketika ia sedang latihan karate ia mengalami kecelakaan yang lantas meremukkan buku-buku tangan kanannya. “Waktu itu saya memukul riol yang lantas meremukkan tangan saya sehingga dalam waktu yang lama saya tidak lagi bisa memetik gitar klasik. Jari tangan kanan saya jadi kaku,” kenangnya.

Nah, di sinilah Dolok mulai mencoba mengenal gitar listrik yang biasanya hanya menggunakan “clever” untuk memetik senar-senar gitar. “Saya juga melihat saat itu, ternyata musik rock itu tampaknya lebih seru. Apalagi waktu itu cukup sering diadakan festival band. Sejak situlah saya mulai mempelajari gitar listrik,” jelas gitaris yang kemudian sering menjadi sorotan di antara penggemar musik rock Medan itu. Termasuk Ngumban Brahmana, pemilik Lowrey Music Studio, yang menawarinya untuk mengembangkan ilmu gitarnya ke Bandung.

Berkat rekomendasi dan dukungan materi dari Ngumban Brahmana, maka pada 1990 Dolok pun berangkat ke Bandung dan belajar gitar kepada seorang guru gitar jazz, Yono AR secara intensif selama setahun lebih. “Tapi, saya lebih mendalami unsur rocknya. Karena lebih akrab di telinga saya,” ujar Dolok.

Sepulang dari sana, pada 1991, Dolok diangkat menjadi instruktur gitar. Selain itu, ia juga makin sering mengikuti kompetisi musik rock yang diadakan di Medan hingga Aceh. “Ketika main solo gitar di Aceh, saya diminta tinggal di sana, tapi saya tidak mau,” katanya.

Tahun 1996, Dolok tak lagi mengajar di Lowrey Music Studio. Dan memilih mengajar di rumahnya hingga saat ini. “Hingga saat ini, saya tetap mengajar gitar di sini,” ujarnya menunjuk ruangan kecil di belakang rumahnya yang beralamat di Jalan Pengayoman, Gaperta. “Mereka datang langsung ke mari. Dan saya bangga, tak sedikit murid saya yang berhasil saya didik menjadi gitaris berbakat,” sambungnya.

Tak sedikit penghargaan yang sudah diraih Dolok, hingga ia pun dianggap sebagai salah satu gitaris yang paling prestisius di Kota Medan. Kelebihannya adalah kemampuannya memaikan gitar dengan teknik yang tak bisa dilakukan oleh banyak gitaris Medan, yakni dengan memainkan komposisi melodi gitar dengan teknik “tapping”, sementara gitar didudukkan. Belakangan, dia berhasil meraih juara II Festival Gitar Fender pada 2002, meski tak sedikit yang melarangnya untuk ikut dalam kompetisi itu dengan alasan senioritas.

Meski nama Dolok sudah besar di Medan, namun ia mengaku kepuasan untuk menjadi musisi untuk kota seperti Medan masih jauh dari yang ia harapkan. Ia mengeluhkan minimnya wadah untuk menampung bakat para musisi Medan yang belakangan ini lebih maju.

“Sayang sekali, banyak musisi Medan yang berbakat, tapi tak punya wadah. Belum ada orang yang mau invest di bidang industri musik MEdan. Makanya, mereka terpaksa berjuang sendiri,” komentarnya.

Hal lain, Dolok juga mengeluhkan para pengusaha hiburan di Medan yang kurang menghargai musisi. “Mereka dibayar terkadang tak sesuai. Ya, daripada tidak eksis, musisi terpaksa menerimanya walau kecil,” jelasnya. Inilah juga alasan mengapa Dolok lebih memilih bersolo karir; baik sebagai pengajar, tampil pada even musik dan menjadi juri dalam berbagai festival.

“Bersolo karir lebih nyaman. Saya punya banyak waktu luang,” ujarnya. “Bukannya saya tidak suka untuk membentuk band dan menjadi penghibur di café-café, tapi dari yang saya lihat, hal itu tak menjanjikan. Pengusaha hiburan membayar mereka terlalu kecil,” sambungnya.

***

Sampe Sarman beda lagi cara menjawab eksistensinya sebagai gitaris rock. Pada pertengahan 2006, ia ikut mengerjakan proyek album band Marin X berjudul “Jauh” dengan Maringan Siagian, vokalis Fireball, “homeband” Rock Café, Hotel Danau Toba International, Medan.


Sebelumnya pada 2004, lulusan Fakultas Sastra Unika St Thomas itu juga telah menelurkan “The World” berisi 12 intrumen solo gitar yang ia garap secara indie. Setahun kemudian, dengan format yang tak jauh berbeda ia kembali mengeluarkan album “Affection”, berisi 14 intrumen solo gitar, karyanya.

“Saya tahu, banyak orang yang tidak yakin dengan performa musik anak Medan. Tapi kalau kita menyerah hanya karena anggapan sinis itu, maka tak akan ada yang berubah dengan musik Medan,” ujar pengagum Joe Satriani dan Kee Marcello (gitaris Europe) itu.

Perjuangan Sampe tak mudah. Sebagai gitaris, ia juga memasarkan sendiri kedua karyanya itu. “Saya distribusikan lewat studio-studio dan rekan-rekan sesama musisi. Inilah upaya kita sementara. Target kita yang paling utama adalah ingin mendapat lirikan label major Jakarta. Mudah-mudahan. Suatu saat nanti,” katanya.

Savril, Dolok dan Sampe hanya tiga di antara banyak musisi Medan yang telah berjuang demi eksistensi sebagai musisi (gitaris – Red) di kota seperti Medan. Memang tak mudah. Namun, setidaknya mereka telah melakukannya. Sekaligus, menunjukkan bahwa Medan juga punya potensi.

Break on Through to the Other Side

Sabtu, 15 Maret kemarin, sejumlah anak muda Medan yang menamakan dirinya komunitas band indie Medan menggelar even musik berlabel: “Break on Through to the Other Side”. Even digelar di Lapangan Badminton Jl Kapten Batu Sihombing, Medan. Dan sebanyak 13 band indie yang tampil tanpa dibayar, tapi justru membayar. Kata mereka, inilah satu dari gebrakan band indie untuk bisa eksis di Medan. Okelah, bro!

Band-band yang ikut nimbrung di even ini di antaranya: The Changis, The Ohgood, The Chocoholate Farm, Electro Sine, Up to Date, Inferno Hell Brown, Refflex, The Breangsex, Jimi Leaver. Juga, beberapa band indie lainya yang tampil dengan formasi aliran musik yang berbeda, seperti Rock n’ Roll, New Wave, Rock Alternatif, Techno, Disco maupun aliran yang akhir-akhir ini sering mengemuka: aliran Screamo.

Namun, apapun jenis alirannya, seperti kata ketua panitian even Adam, even musik kali ini ternyata banyak mendapat respon dari anak-anak band Medan. Ini sekaligus membuktikan bahwa kreatifitas anak Medan yang berani tampil dengan karya musik sendiri telah memasuki era yang sudah cukup maju. “Kalau di Bandung, indie bisa eksis. Kita juga mau seperti itu di Medan,” ujarnya kepada Global.

Uniknya, even ini berlangsung tanpa dukungan sponsor komersil dari manapun. “Kami menggalang dana sendiri. Tanpa sponsor,” ujar Adam. Ia menjelaskan, selain kontribusi dari ke-13 band yang tampil, dana juga digalang dari teman-teman yang peduli dengan perkembangan band indie di Medan.

Selain Adam, sederet nama yang terlibat dalam even ini tak boleh diabaikan. Karena, “Even ini tak akan bisa jalan tanpa dukungan dari mereka,” jelasnya. Mereka adalah, Batak yang dipercaya sebagai “show director”, Amek sebagai “stage manager”, Wawan (sekretaris) dan Sarum (bendahara).

Adam dan teman-teman mengharapkan, lewat even ini kreatifitas para anak band Medan lebih terpacu untuk bisa berkarya. “Paling tidak kita telah berupaya mempromosikan band-band indie Medan. Bagaimana kelanjutannya, kita butuhkan dukungan dari teman-teman,” jelas Adam.

Ia menambahkan, ke depan even sejenis diharapkan bisa terselenggara lagi. “Kalau bisa lebih besar. Karena selama ini, memang sangat jarang even indie diselenggarakan di Medan. Makanya, kita butuh dukungan anak-anak band indie lainnya,” tutupnya.*

Tuesday, March 18, 2008

Yo..! Ada Hiphop di Medan, bro!

Jika Jazz mampu membesarkan namanya dari New Orleans hingga seluruh kolong langit, maka demikian juga halnya dengan Hiphop yang datang dari Afrika dan melejit di Bronx AS, hingga merebak nyaris ke hampir seluruh dataran planet ini. Tak terkecuali kota kecil: Medan; ditandai dengan lahirnya generasi baru: Hiphop Medan.

Ada beberapa nama yang akan disebut-sebut menjadi ikon Hiphop Medan dewasa ini. Penilaian ini didasarkan pada eksistensi mereka. Bukan hanya eksistensi sebenarnya, tapi juga bagaimana mereka menjawa eksistensi mereka itu dengan karya. Baik mereka mereka yang bergerak di empat batang tubuh Hiphop itu sendiri: Rapper (Microphone Controller), Grafity, Turntablis dan Breaker.

Orang Medan dewasa ini mungkin baru mengenal Hiphop setelah mendengar “50 Cent”, “Eminem” atau “Black Eyed Peas”, yang bagi sebagian pengamat Hiphop genre yang mereka bawakan itu merupakan terobosan baru dalam kancah Hiphop sendiri. Padahal, di Medan diam-diam Hiphop sebenarnya telah lama tumbuh bak jamur. Menyerap perlahan hingga tumbuh menjadi sebuah yang bisa dikonsumsi, atau sebalikanya dianggap sebagai “racun”, yang memperahuri “sub-culture” kita. Namun, itu tergantung persepsi orang menilainya, bukan?

Maka, tersebutlah beberapa nama yang bisa dianggap mewakili Hiphop Medan: Rapper Ucok Munthe, Jaypey, Reza Husein, Illegal Rhimes, DJ Ronald dan DJ Rico, dan nama-nama dari komunitas “breaker” Medan yang belakangan mulai mendapat tempat di tengah. Sempat juga terbentuk komunitas bernama “Medan Hiphop Community”. Namun komunitas ini sempat lama vakum. Namun kembali dibangkitkan dengan munculnya komunitas baru yang memiliki motivasi sama; komunitas yang lahir dari akar Hiphop, di antaranya: “One Voice Hiphop Movement”, “Utama Side”, “POULAYA”, “Cash Family”, “Pangkalan Brandan Rap” dan “V Double L.A”. Ini belum termasuk komunitas yang diam-diam belum merepresentasikan wujudnya.

Ok. Itu masih rap. Bicara soal B’Boy Medan, maka sangatlah tidak “respect” jika tak menyebut beberapa komunitas ini: Medan Street B’Boyz (MSB), IBO Breakinz, Popgank Anak Lantai, Kinniku Squad, Oroginal Baby Rock, S.O.G, Crushxable maupun Lowbat. Jumlah yang tak sedikit jika mengetahui bahwa komunitas seperti ini baru mulai tumbuh di Medan sejak 2003.

“Jumlah ini, sebenarnya drastis. Sebelumnya, Medan tak pernah memiliki komunitas breaker. Mungkin ada, tapi namanya tak pernah kedengarannya,” ujar Asep dari MSB.

“Perjuangan Rapper lokal”

Akhir 2007 lalu, Ucok Munthe (29) merilis album “Aku dan Diriku”. Ini adalah album pertama Ucok yang langsung mengusung namanya setelah beberapa kali terlibat dalam penggarapan album kompilasi dengan beberapa rapper, baik dari Medan maupun luar. Album ini terdiri dari 12 hits yang ia garap selama 2 bulan lebih bersama tiga “beat maker”: Tora Tobing, Mahendra Ginting, Manu (Prancis); juga melibatkan Hanna (singer) dan Jere (rapper). Namun, ada satu yang menarik dari album ini, yakni sebuah tulisan berlatar banner hitam putih: “Perjuangan Rapper Lokal".

Ya, merebaknya komunitas Hiphop di Medan memang telah membuktikan bahwa Hip-hop tidak baru saja eksis di Medan. Maka, seperti kata Ucok yang bernama lengkap Ardiansyah Munthe itu, album ini adalah satu jawaban dari eksistensi itu. Tak salah juga jika album ini dibubuhi kalimat itu. Sebab, album ini sendiri memang masih bernaung di bawah label indie. Digarap bersama di sebuah studio rekaman Medan. Setidaknya jelas bahwa album ini adalah satu wujud perjuangan generasi Hiphop Medan, yang rupanya tak ingin sekadar eksis. Album ini sekaligus menjelaskan bahwa Ucok tak ingin dicap sebagai generasi Hip-hop yang hanya “maniak”. Tanpa kreatifitas.

"Saya tak akan berani mengaku seorang rapper, kalau saya belum punya karya," jelasnya. Seseorang layak dikatakan rapper jika mampu mengekspresikan apa yang ia lihat dan ia rasa dengan ‘style’- rapnya sendiri. Dengan spontan. Yang juga tidak selalu mengalunkan karya rapper lain. "Sekalipun memang itu tak ada salahnya, ” jelasnya.

RAP adalah satu di antara cabang Hip-hop yang mendapat peran aktif dalam perkembangan Hiphop, selain “grafity”, “breaker” dan“turntablism”. Seperti kata Ucok, Rap adalah ekspresi jiwa dari yang dilihat dan dirasa. Rap bukan hanya sekadar nyanyian. Tapi, lebih pada alunan kata demi kata yang biasanya dialunkan dengan super cepat. Rap juga bukan sekadar harmonisasi musik. Tapi, lebih pada hentakan beat. Beat adalah jantungnya Rap.

Maka, pernyataan Ucok tak meleset dari apa yang ia utaran dalam lirik “Satu Mikropon”, yang direkam di album kompilasi “Hip-hop tanpa Tembok” pada 2005. Di album yang ia garap bersama rapper Medan lainnya itu, dengan “lantang” Ucok menegaskan:

“Hip -hop adalah jiwa yang bernafaskaan proses perjuangan hingga menjadi wadah. Akar pohon dari empat cabang yang hidup, RAP adalah ekspresi jiwa lewat kata-kata yang beralun menyampaiakannya secara spontanitas maupun yang sudah ada dari keadaan yang dilihat, didengar dan dirasa.”

Namun, seorang generasi Hiphop bukan berarti harus "terjun bebas" pada keempat cabangnya. "Rapper punya bagiannya. Begitu juga 'breaker', 'grafity' dan 'DJ'. Meski tak menguasai keempatnya, namun paling tidak mengetahuinya secara umum," jelas Ucok, yang mengaku pertama kali mengenal Rap setelah mendengar Farid Hardja (alm - Red) dan Iwa K itu.


"RAP adalah satu di antara cabang Hip-hop yang mendapat peran aktif dalam perkembangan Hiphop, selain 'grafity', 'breaker' dan 'turntablism' ..."



Perjuangan rapper lokal, barangkali buan hanya sekadar slogan bagi Ucok. Sebelum album ini ada, Ucok telah berbagai tahapan yang tidak singkat. Pada 1998, Ucok telah membentuk "Deli Tua Rapper Club", yang didirikannya dengan Joshia Julpri Tarigan. "Sayang, Julpri lebih dulu dipanggil Tuhan," ujar Ucok.

Sebelumnya, bersama Julpri, Ucok "terbang: ke Jakarta dengan modal 9 aransmen rap yang mereka garap bersama. Album ini diberi nama "Berontak". "Kami ingin menembus label major," kenang Ucok. Hits mereka sudah sempat di atas meja Musica Record, sasaran mereka. Namun sayang, album mereka tergeser oleh "7 Kurcaci", saingan mereka saat itu. "Kami anggap itu kegagalan yang tertunda," jelas Ucok, tanpa ingin membeberkan unsur intrik yang menyusupi kegagalan mereka saat itu.

Di Jakarta, Bekasi, 2000, Ucok lalu bergabung dengan komunitas hiphop "Rontak" yang dimotori M Bayu "Lil By'U" Firdaus" pada 1999. "Aku banyak belajar tentang Hiphop di komunitas ini, termasuk pengalaman tampil di berbagai even Hiphop," ujar pengagum rapper Vanilla Ice, MC Hammer dan Salt & Pepper ini.

Dua tahun di Jakarta, Ucok kembali ke Medan. Pada 2001, bersama rapper dari Jakarta, Medan dan Malang, Ucok menggarap album kompilasi rap kedua: "Kembali Berontak". Yang kemudian membuka kesempatan bagi Ucok sementara menjadi "Rapper Entertainer", istilah yang menurut Ucok, "bukan rapper sejati" karena rapper sejenis ini hanya memenuhi keinginan Even Organizer. "Sedang, rapper sejati adalah rapper yang bisa eksis tanpa selalu ada EO. Yang bisa eksis sendiri," komentar ucok.

Tak berhenti sampai di situ, Aldi, "beat maker" asal Malaysia mengajak beberapa rapper Medan, termasuk Ucok, Jaypey dalam penggarapan album rap "Moezafir". Awal 2006, bersama "Infrared", KO 2 & Lilfigh" dan "Taxlore", Ucok kembali terlibat dalam album kompilasi "Hiphop tanpa Tembok". Sempat berkolaborasi dengan DJ Ronald dalam pembuatan demo "Siapa Kali Dirimu." Dan sempat ikut tampil di ajang "Rock United Soundrenaline 2006" di Lanud Medan. "Ini adalah pengalaman manggung paling berkesan buat aku. Karena saat itu, gaung Hiphop terdengar di antara gaung Rock, yang sangat jarang terjadi," ujarnya.

Sebelum "Aku dan Diriku" dirilis, ternyata perjuangan yang panjang telah ditempuh sebelumnya. "Perjuangan ini belum berhenti," jelas Ucok, mengulangi bahwa Hiphop adalah musik yang barangkali sudah menyatu dengan jiwanya. Dan ingin membesarkan namanya di kancah lokal: Medan, yang tak ingin persis menyamai Hiphop di Bronx dengan lifestylenya yang lebih "gila".

"Hiphop di Bronx boleh saja gila, karena itu tak terlepas dari pengaruh sosial mereka. Hiphop yang saya anut tak sejauh itu. Tanpa drugs atau alkohol, Hiphop juga bisa. Dan begitulah aku," ujar lelaki yang bahkan memang bukanlah pecandu nikotin itu. Untuk Medan, ia ingin Hiphop tetap eksis dan independen. Ya, ini adalah wujud perjuangan rapper lokal yang telah menjalani proses panjang. Sekali lagi, "Karena Hiphop adalah bagian dari jiwaku," katanya.

***


Jaypey terlahir dengan nama lengkap Joko Priyono. Perkenalannya dengan Ucok Munthe pada 2004 membuka matanya lebih luas tentang Hiphop. Di usianya yang masih 23 tahun, Jaypey boleh dikatakan sebagai salah satu penggila Hiphop yang tampaknya ingin menjaga eksistensinya. Meski terkadang pesimis, tapi ia yakin. “Suatu saat nanti Hiphop akan besar di Medan. Mungkin belum saat ini,” ujarnya optimis.

Pada 2005 ia juga terlibat dalam penggarapan album kompilasi “Mouzafir”. Namun, ia menganggap itu tak cukup untuk menjawab eksistensinya sebagai rapper. Akhir tahun 2007, ia pun membentuk “One Voice Hiphop Movement”, komunitas Hiphop yang merupakan reinkarnasi dari “Medan Hiphop Community” yang sempat vakum beberapa lama.

Saat ini, bersama 12 grup rapper Medan dan 2 dari Pangkalan Brandan, ia turut terlibat dalam penggarapan album kompilasi “Suara tak Terbatas”. Tracking dan desain album sudah selesai. Hanya saja, “Proyek ini terkandala biaya. Juga minimnya sponsor yang mau terlibat,” jelasnya.

“Dari 15 proposal yang telah kami ajukan, hanya 3 yang mendapat respon. Saya, tidak tahu apakah karena mereka menilai Hiphop tak memiliki prospek komersil. Tapi, walau bagaimana pun, proyek album kompilasi ini akan tetap berjalan,” ujarnya. Meski masih dilabel indie, proses mastering album ini rencanya akan dibuat di Kuala Lumpur, sama seperti album “Moezafir”.

Ucok dan Jaypey hanyalah dua “jamur” Hiphop yang kini sedang berjuang untuk Medan. Selebihnya, langkah yang sama juga turut dilakukan para generasi muda Medan lainnya, meski berjalan di elemen yag berbeda dari akar yang sama. Meski mereka tahu bahwa Hiphop tidak lahir dari akar budaya mereka, namun itu tak jadi soal. Cinta mereka pada Hiphop telah mengalahkan segalanya.

Maka, tak salah jika suatu kali seorang penulis musik James McBride untuk National Geography, dalam artikelnya “Hiphop Planet” menulis: “Dunia saat ini adalah dunia hip-hop”. Hiphop adalah sebuah fenemena kebudayaan yang menjadi universal. Hiphop bukan hanya musik; tapi juga “culture and lifestyle”. Ya, “ we are living in planet hip-hop now”, bro!

KOLEGIUM MUSIKUM: Multi-Instrumentalis

Greget musik di Kota Medan dewasa ini dapat dikatakan kian berkembang. Ini dapat dilihat dari munculnya banyak komunitas musik yang ingin ikut mengambil bagian di dalamnya. Baik sebagai penyaji musik dalam berbagai event, seperti untuk mengisi kebutuhan musik di dunia entertainment, adat juga kerohanian. Atau bahkan untuk mengikuti ajang festival di berbagai ragam musik.— baik di tingkat lokal maupun luar.

Meski demikian, dari sekian banyak kelompok musik itu pada umumnya masih setia pada warna musik popular maupun tradisional. Namun, dewasa ini kehadiran beberapa kelompok musik yang ingin tampil beda (dengan mengambil corak yang khas) dapat dijadikan sebagai indikator perkembangan musik Kota Medan, kota yang memang bersifat multi-cultural ini.

Semisal dengan hadirnya grup-grup musik seperti “Incidental Music” yang dipimpin Hendri Perangin-angin, “Swarasama” yang dipimpin Irwansyah Harahap. Dan “Pan-Sumatran Ensemble” yang digagas oleh Ben M Pasaribu.

Selain keempat grup itu, masih ada kelompok musik lain yang telah turut serta memperkaya kekhasan itu. Kelompok itu adalah “State University of Medan Performing Ensemble: Kolegium Musikum”. Nama grup musik yang cukup panjang, namun sering disebut “Kolegium Musikum”.

“Kolegium Musikum” merupakan kelompok musik yang unik. Karena, meskipun pada dasarnya personilnya adalah dosen dan mahasiswa UNIMED (Universitas Medan), namun kelompok ini bersifat terbuka. Artinya, grup ini tidak metutup diri untuk berkolaborasi dengan musisi dari manapun. Maka, tak heran jika grup ini juga kerap bermain bersama pemusik-pemusik tamu—baik dari Tanah Air maupun mancanegara—dalam sebuah perhelatan musik.

Ragam musik yang diusung kelompok ini pun merambah ke corak yang lebih beragam. Seperti corak world music, experimental music, improvisational jazz, pop-ethnic dan kolaborasi intermedia, yang selalu menyesuaikan diri pada event yang diikutinya. Namun, tetap memiliki ciri yang khas.

Multi-instrumentalis

Kelompok ini sudah ada sekitar empat tahun yang lalu. Meski masih tergolong masih muda, namun kehadirannya cukup partisipatif. Grup ini sering hadir “unjuk gigi” pada berbagai event musikal—baik lokal, nasional dan internasional.

Diantaranya, berpartisipasi pada event “Yogyakarta International Gamelan Festival” (bersama dengan Dewan Kesenian Medan), mengisi Special Performance di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Selain itu: berkolaborasi dengan Sinar Budaya Group dan Tim Kesenian Serdang Bedagai untuk berpartisipasi dalam Pesta Gendang Malaka di Malaysia; mengikuti Indonesia – Malaysia – Thailand Cultural Convocation; Pergelaran Musik Sumatera Utara – Lampung; mengisi pembukaan pameran seni rupa di Galeri Tondi Medan; dan baru-baru ini tampil di Malacca Strait Jazz, Pekanbaru dengan pemusik tamu Emmanuel Zimbert, seorang lector musik (juga DJ) dari Prancis.

Kemudian, juga turut berpartisipasi pada Aceh World Music Workshop di Takengon dan Banda Aceh, yang berkolaborasi dengan pemusik tamu Ed van Ness (Amerika Serikat), Kim Sanders dan Phoebe Dawson (keduanya dari Australia).

“Pada dasarnya personil kelompok ini adalah multi-instrumentalis, yang dapat memainkan beberapa ragam instrument musik dan bernyanyi,” ujar Ben Pasaribu menanggapi kelompok musik ini.

Beberapa seniman musik yang aktif berpartisipasi di dalam grup ini diantaranya adalah, Mukhlis Hasbullah, Panji Suroso, Evan Peris, Yulivan Saaba, Pulumun Ginting, Lamhot B Sihombing, Ben M. Pasaribu, Bram Gun. Selain sebagai performer, semua seniman ini juga adalah dosen tetap juga dosen luar biasa di Program Studi Musik UNIMED. Dan beberapa di antaranya adalah mahasiswanya sendiri.

Eksistensi grup musik ini barangkali tak pantas dipandang sebelah mata jika melihat statis partisipasi mereka dalam meningkatkan pamor musik Kota Medan. Setidaknya grup ini juga bisa menjadi kebanggaan kota ini.

Obsesi Kolegium Musikum juga tampaknya tak muluk-muluk. “Sekarang, grup ini sedang mengusulkan untuk lolos seleksi mengikuti perhelatan Festival International de Musique Universitaire, yang akan diadakan tahun 2008 di Belfort, Prancis,” ujar Ben Pasaribu.

The Man Behind “Huria! Record”

Inisiatif untuk mendirikan industri rekaman di Kota Medan boleh jadi adalah sebuah langkah berani. Dan barangkali ini adalah sebuah ide yang “gila”. Masalahnya, dibutuhkan tak sedikit energi untuk menggerakkan ide ini; baik secara finansial maupun manajemen dan strategi. Belum lagi resiko kerugian yang akan diderita melihat geliat industri musiknya Medan yang masih sangat lesu ini.

Namun, justru ini adalah sebuah tantangan bagi Reza Pohan, pendiri ”Huria! Record”, sebuah industri rekaman yang masih berjalan di jalur indie label. Label ini sudah berdiri sejak 2006 dan masih eksis hingga kini, meski dengan sejuta tantangan.

”Kalau tidak dimulai dari sekarang, sampai kapan band Meda bisa terangkat,” ujar Reza, lelaki di balik ”Huria! Record”, yang mengaku sejak lama sudah tergila-gila pada musik itu.

Ide untuk mendirikan industri rekaman sebenarnya tak pernah terpikirkan oleh Reza sebelumnya. Namun, tantangan itu muncul suatu kali dalam sebuah kesempatan yang tak pernah diduga pada 2006 yang lalu.

Pada sebuah even musik bertajuk ”Lost in Melody” yang diselenggarakan oleh beberapa anak band Medan, November 2006 lalu di Garuda Hotel Plaza, Reza mulai melihat tantangan itu.

Waktu itu, beberapa band Medan: Cherrycola, Korine Conception, Beautiful Monday, OINX, The Changis, Garden, dan MTDK, berniat ingin membuat sebuah album kompilasi lagu ciptaan mereka sendiri. Tentu ini adalah sebuah langkah kreatif yang perlu didukung. ”Sayangnya, mereka terkendala dana,” ujar Reza.

Reza pun turun tangan dengan ”kucuran” dana pribadinya. ”Waktu itu belum berdiri Huria Record,” katanya. Maka, Reza pun mulai ”sibuk”; mulai dari proses pencarian studio rekaman dan mixing, mencari desainer cover album, hingga terlibat soal distribusi album.

Nah, di sinilah awalnya terpikir untuk mendirikan label ”Huria! Record” untuk melabeli album itu. Maka, album kompilasi yang diberi judul ”Let’s Push Things Forward” itu pun dirilis sebanyak 250 keping. ” Alhamdullilah, semua keping album habis terjual,” ujar Reza. Dan langkah itu pun berlanjut hingga sekarang.

Gebrakan Reza memang masih langka di Medan. ”Tapi di Jawa, langkah
semacam ini sudah banjir,” katanya. Ia mencontohkan sebuah band indie asal Bandung ”The Milo”, yang sukses setelah melalui proses yang sama. Sekaligus, ternyata mendapat respons dari penikmat musik, di luar label mainstream.

Selain itu, Reza juga menilai inilah saatnya bergerak untuk menaikkan martabat band Medan, yang sebenarnya tak sedikit yang berpotensi sukses menembus label nasional.

Sayangnya, mereka masih berharap tembus di label mainstream. Alhasil, nasibnya begitu-begitu aja. ”Sudah capek-capek latihan dan bikin lagu, paling hebat manggung sesekali kalau ada even musik. Kan, sia-sia?,” katanya.

Gebrakan kedua

Saat ini, Reza sedang merampungkan pembuatan album band Korine Conception, band indie Medan beraliran ”Shoegaze”; aliran musik ini pertama kali muncul di Inggris pada dekade 80-an, dengan beberapa band pelopornya, seperti Bloody Valentine, The Dive dan Sigus Ros.

Meski album ini beresiko besar dikarenakan aliran musik yang diusung Korine Conception masih terdengar awam, namun sesuai kesepatakan Reza dan band, album perdana ini rencananya akan dirilis sebanyak 1.000 keping. Rencananya album ini akan dikeluarkan pada akhir Februari mendatang.

”Untuk Medan, mungkin masih beresiko,” jelas Reza. Namun, ia sudah menembak beberapa kota besar untuk distribusi album, seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. ”Di sana aliran musik seperti ini tidak baru lagi,” tambah Reza.

Ini adalah gebrakan kedua ”Huria! Record” setelah sukses memproduksi album kompilasi ”Let’s Push Things Forward”. Selain itu, untuk mendukung wawasan bermusik anak band Medan, Reza juga menyediakan perpustakaan musik dengan gratis di “kantornya” yang beralamat di Jalan Setia Budi, Komples NCC No. 9 C itu.

Setidaknya langkah berani sudah dimulai Reza untuk mengangkat martabat musik Medan. Juga dukungannya yang tak main-main. Selanjutnya, ”Semoga anak Medan sendiri mendukung dengan mulai lebih kreatif lagi,” katanya. Ayo, anak band Medan, cemmana!

“Matahari” Band: "Major Label Masih Impian"

Meski sudah tiga tahun lebih berdiri, sementara impian untuk mendapat lirikan dari pelaku industri muski belum juga kesampain, Matahari Band tidak begitu saja pesimis. Meski demikian, band yang digawangi empat personil yang masing-masing merupakan pentolan dari beberapa band yang pernah eksis di Medan itu, tetap konsisiten untuk melangkah maju.

Mungkinkah “Matahari”, band yang dibetuk sejak 2003 oleh lima personil yang terdiri dari Jeffrey Pardede (gitar/vokal), Roy (bass), Harif (drum) dan Ade (keybaoard) itu, akan menjadi band yang tidak sekadar eksis? Padahal, bukan rahasia lagi kalau band asal Medan masih dicap minim kreatifitas. Sehingga tidak mengherankan jika geliatnya belum menggreget.

“Paling tidak kami sudah berupaya,” ujar Jeffrey Pardede, sang gitaris yang sebelumnya adalah pentolan group band @Plus, band Medan yang sempat dikenal dengan citra musik romantis dan sering menjadi bintang tamu pada even-even musik kampus itu.

Selama eksis, setidaknya Matahari telah memiliki 15 buah lagu ciptaan sendiri. Tiga di antaranya adalah lagu andalan, yang disertakan dalam “promo kit” (materi promosi yang terdiri dari sampel rekaman lagu dan biografi band), yang nantinya siap diandalkan kepada industri musik berlabel major.

“Promo kit pertama sudah kita buat kemarin ketika mengikuti audisi untuk menjadi band pembuka pada even musik Rock United, tahun lalu di LANUD Polonia Medan. Syukur, kita lolos seleksi pada saat itu. Dan mendapat kesempatan untuk main sebagai band pembuka beberapa band-band Jakarta yang sudah memiliki nama besar,” ujar Jeffrey, saat diwawancarai seusai latihan di sebuah studio musik di Padang Bulan, baru-baru ini.

Waktu itu, rekaman dilakukan di Studio Biru Medan dengan biaya Rp 3 juta yang berasal dari personil sendiri. “Kita belum punya manajer. Untuk saat ini, kita mengelola band secara internal,” ujar Jeffrey.

Tak henti di situ saja, band beraliran Pop Rock itu rencananya akan membuat rekaman lagi di Studio Trinity Jakarta. “Kita belum memastikan berapa biayanya. Tapi, yang pasti biayanya akan lebih besar. Mudah-mudahan hasilnya lebih bagus,” ujar Jeffrey.

Hasil rekaman ini nantinya akan mereka lemparkan kepada pelaku industri rekaman berlabel major. “Soal diterima atai tidak diterima itu soal belakangan. Namun paling tidak inilah kreasi kami,” ujar anggota band berharap.

“MARIN X”: Duo Talented Medan's Rockers

Bukan rahasia lagi bahwa sebenarnya tak sedikit anak-anak muda Kota Medan yang berbakat di bidang musik. Setidaknya hal ini dapat dibuktikan dengan hadirnya “Marin X”, group musik beraliran rock yang tetap konsisten ingin berkiprah mengangkat nama Medan, yang sering dicap tidak ada apa-apanya.

“Marin X” digawangi duo musisi Medan, yang barangkali namanya tk asing lagi di telinga anak-anak Medan yang gemar dengan aliran musik rock, yang berkarakter energik, didukung dengan kemampuan bermusik yang tak lagi diragukan. Mereka berdua adalah Maringan Siagian (vokalis) dan Sampe Sarman (gitaris).

Didasari atas konsistensi mereka dalam bermusik, maka keduanya pun hadir bukan hanya sekadar meramaikan menjamurnya grup-grup band di Medan. Tapi mereka telah membuktikannya lewat karya, walau masih sejauh ini masih berjalan di jalur independen (indie label).

“Sejauh ini, kita yang ciptakan lagu, rekaman di studio, video klip, promosi dan pemasaran ke stasiun radio dan studio-studio Medan. Ini semua kita lakukan demi konsistensi kita bagaimana agar ‘Marin X’ dikenal oleh masyarakat,” ujar Maringan kepada Global ketika ditemui di Studio Enghteen, Jl Gagak Hitam MEdan, baru-baru ini.

“Marin X” sendiri telah menelurkan album “JAUH” pada pertengahan 2006. Berisi 14 lagu, yang bercerita tentang cinta dan dunia. Proses pengerjaannya sendiri telah memakan waktu selama 4 bulan lebih dengan memakan biaya yang tak sedikit pula.

Album ini tak mungkin bisa ada jika tak ada pihak lain yang rela membantu kita termasuk beberapa musisi, kata Maringan. “Seperti Bang Sapril, (pemilik Studio Eighteen), yang rela meminjamkan studionya untuk kita latihan dan rekaman. Juga kepada Bang Patrick Simangunsong, yang telah memberikan bantuan sejumlah materi untuk pembuatan album ini,” katanya.

Maringan sendiri bukanlah pemain baru lagi dalam kancah musik Medan. Namanya mulai dikenal ketika ia bergabung dengan grup band “Edelweiss”, sebuah grup band rock yang performanya sudah diakui dan sering menjadi bintang tamu dalam berbagai even musik dan café-café di Medan.

“Sebelum di Edelweiss, saya main di Sweeper Band,” kata lelaki yang selama dua tahun lebih pernah menyambi sebagai penjaga parkir dan berjualan hamburger itu. Setelah hengkang dari Edelweiss, Maringan bergabung di Starlight Band. Pindah lagi ke Frekwensi Band hingga saat ini bergabung dengan Fireball Band. Marin X sendiri merupakan proyek di luar aktivitas bermusiknya di Band Fireball sebagai homeband di Rock Café dan Tavern , kata Maringan.

“Affection”

“Kegilaan” Maringan tak beda dengan yang dimilki Sampe Sarman. Sebelum mengerjakan proyek musik Marin X, alumnus yang juga adalah pentolan gitaris Edelweiss ini telah menelurkan dua album solo gitar indie berhaluan rock.

Yang pertama pada 2004, Sampe telah menelurkan “The World” berisi 12 intrumen solo gitar yang bercerita tentang perubahan dunia seiring dengan perubahan manusia. “Dunia berubah, manusia juga ikut berubah. Tapi itu terjadi karena manusia juga. Itulah fenomena kehidupan,” ujar lelaki alumnus Fakultas Sastra Unika St Thomas itu.

Setahun kemudian, dengan format yang tak jauh berbeda ia kembali mengeluarkan album “Affection”, berisi 14 intrumen solo gitar. “Affection itu bercerita tentang dunia yang kerap menghalalakan segala cara. Maka diperlukan kasih (affection) sebagai penawarnya,” tambah gitaris yang dominan mengadopsi komposisi solo gitar Joe Satriani dan teknik Kee Marcello (gitaris Europe) itu.

Keduanya album ini dikerjakan Sampe dengan kerja keras sendiri. “Saya tahu, banyak orang yang tidak yakin dengan performa musik anak MEdan. Tapi kalau kita menyerah hanya karena anggapan sinis itu, maka tak akan ada yang berubah dengan musik Medan,” ujarnya.

Tak beda dengan “Jauh”, Sampe juga memasarkan sendiri kedua karyanya itu, lewat studio-studio dan rekan-rekan sesama musisi. “Inilah upaya kita sementara. Target kita yang paling utama adalah ingin menembus major label Jakarta. Mudah-mudahan,” katanya.

Berkat upaya independen itu, setidaknya sejauh ini nama kedua musisi ini kian tak asing lagi. Sampe sendiri, selain sering menjadi anggota dean juri pada perhelatan musik kampus dan anak muda MEdan, juga dupercaya sebagai sound enginering di Eighteen Studio dan sebuah gereja di MEdan.

“Ya, bekerja di bidang musik memang sudah menjadi pilihan karir saya sejak awal. Sayangnya, dulu saya tidak bisa kuliah di bidang musik karena persoalan biaya kuliah yang mahal,” ujarnya.

Ahmad Setya: “Musik Melayu Jangan Sampai Hilang”

Menyebut nama Ahmad Setya pastilah tidak lepas dari gejolak musik irama Melayu yang mendayu-dayu dan sempat berjaya pada dekade 1950 an hingga 70-an. Selain lihai mengalunkan senandung-senandung irama-irama Melayu, Ahmad juga dikenal mahir memainkan akordion, menabuh kendang, menari Serampang Duabelas dan Zapin.

Karir bermusik lelaki yang hanya mengenyam pendidikan setingkat SMP itu, diawali pada 1959, ketika ia mulai bergabung dengan grup orkes “Hitam Manis”. Saat itu, grup ini kerap dikenal sebagai pengisi acara RRI Nusantara III MEdan. Di grup ini, Ahmad memegang alat musik akordion, yang sebelumnya sudah diakrabinya dengan belajar pada Alm Datuk Muhammad Nur.

“Saya masih ingat waktu itu, lagu pertama yang bisa saya bawakan dengan akordion berjudul ‘Demam Puyum’,” kenangnya. Uniknya, Ahmad menekan tuts-tuts akordion dengan tangan kidal. Sehingga ia kerap dijuluki “Ahmad Kidal”.

“Hitam Manis”sendiri merupakan salah satu grup Melayu yang saat itu namanya cukup tenar. Maka selain sering bermain di Taman Ria MEdan, grup ini juga sering mendapat orderan untuk main di luar kota, seperti Rantau Prapat, Pekan Baru, Palembang, hingga Padangsidimpuan.

Penampilan perdana Ahmad di “Hitam Manis” berawal dari kejadian tak sengaja suatu kali di Pasar Malam Lapangan Merdeka, Medan. Waktu Ahmad sedang menonton Alm Datuk Muhammad Nur. ‘Tiba-tiba, Karim, seorang pelawak naik ke atas panggung dan meminta saya untuk memainkan akordion. Saya kaget. Tapi akhirnya saya mau. Saya main hingga acara selesai,” kenangnya.

Selepas dari “Hitam Manis”, pada 1962 Ahmad lalu bergabung dengan grup “Joged Modern”, yang sering memenuhi undangan main di berbagai daerah. Pada 1976, ia lalu bergabung dengan Himpunan Seni Budaya Dara Melati (HSBM), pimpinan Tengku Rizal Hafaz.

“Joget Modern” kerap menjadi grup musik pengiring tarian yang waktu itu huga kerap disebut “Joget Modern”. “Tarian ini dimainkan oleh pasangan pria dan wanita, tetapi tidak beleh saling berpegangan. Biasanya diiringi dengan alat musik kendang, biola, saxopon, akordion dan tanpa nyanyian. Hanya melodi. Bukan hanya lagu Melayu saja yang dibawakan tapi lebih bersifat “all round”, termasuk lagu Barat sendiri,” jelas Ahmad.

Tahun 1982, Ahmad lalu bergabung dengan grup band Dara Escape pimpinan Ibu Rolan dari Langsa, Aceh. Hanya setahun ia di sana. Ia pun bergabung dengan Ansambel Bukit Barisan pada 1983. Setahun kemudian ia bergabung dengan Sri Endera Ratu Istana Maimun, pimpinan Tengku Sitta Saritsyah. Sempat tak bergabung dalam grup selama lima tahun. Hingga bergabung lagi dengan grup Patria dari Tanjung Morawa pada 1989. Dan pada 1995, ikur dengan grup Ria Agung, pimpinan Drs Monang Butar-butar.

Selama melalanglang dari grup ke grup, selama itu pula Ahmad banyak menimba pengalaman. Termasuk menginjakkan kaki di luar negeri. “Negeri asing yang pertama kali saya singgahi karena musik Melayu adalah Kedah, Malaysia, pada 1977 bersama HSBM,” kenang Ahmad yang samasekali tak pernah mengecap pendidikan musik secara formal itu.

Pada 1881, Ahmad kembali mengikuti tur bersama grup yang sama ke Sabah dan Serawak, Malaysia. Sekembalinya dari sana, grup langsung menuju ke Negeri Pahang, Perlis, Pulau Langkawi untuk memenuhi undangan pemerintah setempat untuk memberi hiburan Langgam Melayu dan Serampang Duabelas. “Pokoknya berkesanlah waktu itu,” kenang Ahmad lagi.

Undangan bermain ke luar negeri tak sampai di situ. Pada 5 November 1994, Ahmad kembali diikutkan dalam rombongan Grup Ria Agung MEdan, pimpinan Monang Butar-butar, yang waktu itu ditunjuk oleh Walikota MEdan (waktu itu Bachtiar Jaffar) untuk mewakili pertujunkan kebudayaan Melayu Medan ke Ichikawa Jepang. “Saya merasa terhormat bisa diikutkan dalam rombongan itu,” kata Ahmad.

Pada 1995, Ahmad kembali diikutkan bersama rombongan MABMI untuk mengikuti acara Pesta Gendang Nusantara ’95 di Melaka, Malaysia. Pada Desember 1996, bersama Lukman Sinar, Ahmad tampil di Singapura; April 2000 mengikuti Pesta Gendang Nusantara III di Melaka Bandaraya Bersejarah, Malaysia; November 2000 kembali tampil pada Pesta Tapak Pulau Pinang Malaysia; April 2001 tampil pada acara Gendang Nusantara V, Malaysia.

Pada 2001 ia pun diundang untuk menghadiri pertemuan Seniman Serumpun di Institut Seni Malaysia. Juga mengikuti Pesta Gendang VI, Malaysia pada April 2003; Juni 2003 mengikuti karnaval budaya ke Negeri Sembilan, Malaysia. Dan yang terakhir, pada April 2005 mengikuti Pesta Gendang Nusantara VIII, Malaysia.

***

Nama Ahmad Setya dalam kancah musik Melayu memang tak diragukan lagi. Sayang, jaman telah berubah, orderan main tak seramai dulu. “Sekarang jamannya pop. Orang semakin kerap melupakan musik Melayu. Apa boleh buat, mungkin sudah jamannya,” katanya pasrah.

Di rumah kecilnya, Ahmad kini lebih sering menghabiskan waktu dengan cucunya. Sesekali, jika “rezeki” datang, ia pun siap menenteng akordionnya, kembali memainkan jarinay dengan tuts, memaikan kendang atau sesekali bersenandung.
Sesuai namanya, Ahmad tetap setia dengan musik yang seakan-akan sudah mendarah-daging itu. “Saya tetap setia pada musik Melayu. Semoga kelak tidak hilang ditelan masa,” katanya.

“Poker”: Mereka sebut menyebutnya "Punk Melodic Independent"

“Tak pernah kumenghentikan diriku kutegak sebotol Bacardy …“


Itulah sepenggal lirik “bandel” dari Poker, satu lagi group band Medan yang tampil dengan mengusung aliran yang mereka namakan “punk melodic independent”, aliran yang musik punk perpaduan antara “pongo punk street” dan “pun rock n’ roll”.

“Kami tidak ingin terfokus pada satu jenis airan punk saja. Makanya kami menyebutnya independen,” cetus, Neo, sang drummer Poker ketika ditemui do sela-sela latihannya di Mita Music Studio, Jalan Setia Budi Medan.

Poker, besutan tiga personil anak muda Kota Medan: Ibal (vokal/bass), Agus (gitar) dan Neo (drum) telah dibentuk sejak SMA. Pertemuan ketiga anak muda yang kini telah menjadi mahasiswa itu, berawal ketika menetap di asrama sekolah tersebut.

“Awalnya, kami sering bertemu dan suka genjrang-genjreng dengan gitar kopong. Dari situ kami sepakat membentuk band beraliran punk, yang sama-sama kami senangi,” kata Ibal.

Mengapa memilih aliran punk? Ketiga personil Poker sependapat, aliran punk lebih pas dengan jiwa mereka.

“Sintinjac” Band: Medan Groovy


Didasari persamaan persepsi dalam bermusik, “Sitinjac” pun terbetuk dengan mengusung warna musik “Pop Groovy”, sebuah warna yang kini semakin digemari oleh kalangan pecinta musik, khususnya Kota Medan.

“Sitinjac”, sebuah nama yang unik. Diambil dari singkatan empat personilnya: Siti (vokal), Indra (gitar), Jacko (bass), Angle (Keyboard) dan Rico (drum). Keempat personil ini pun kini ikut meramaikan suasana geliat musik Kota Medan, yang meski hingga kini gaungnya masih belum terdengar luas di Tanah Air.

Namun setidaknya semangat dan optimisme “Sitinjac” dapat menjadi ajakan kepada band-band lokal lain untuk lebih kreatif dan komit dalam bermusik. Nyatanya, walaupun semua personilnya masih kuliah sambil bekerja, keempat personilnya tetap semangat demi visi yang diusungnya, menjadi salah satu band yang namanya bisa membanggakan Kota Medan.

Apalagi warna musik yang mereka usung adalah aliran “Pop Groovy”, sebuah warna musik yang kini makin digandrungi anak-anak muda. Seperti “Tompi” maupun “The Groove”, yang bisa namanya tak asing lagi. Aroma jazz yang dipadu dengan unsur pop lalu bersatu dengan irama groove. Tentu sebuah warna musik yang kadar appresiasinya cukup bernilai plus.

Lalu, akankah “Sitinjac”, salah satu band lokal anak muda kuliahan ini akan mampu mengikuti -- atau setidaknya-- mampu berkancah di deretan band-band lokal yang kini jumlahnya tak sedikit itu. Inilah tantangannya. Apalagi, bukan gampang untuk menembus batas untuk mencapai kesuksesan itu. Setidaknya membutuhkan modal keseriusan dan materi yang tidak tanggung-tanggung.

“Kami tetap optimis. Bahkan, paling tidak bisa ikut meramaikan bursa musik Indonesia, itu sudah sudah lumayan buat kami,” kata Siti, sang vokalis kepada Global seusai menunjukkan aksi panggungnya yang lincah pada acara Dies Natalis Universitas Sumatara Utara (USU) yang ke 52, baru-baru ini di pelataran parkir Pendopo USU Medan.

Siang itu, “Sitinjac” baru saja membawakan tiga lagu favoritnya. Satu diantaranya adalah lagu hasil aransmen mereka sendiri, berjudul “Sirna”. “Lagu ini sebenarnya sudah lama diciptakan. Cuma, baru akhir-akhir ini sering kami perdengarkan jika manggung,” kata Indra, gitaris sang pencipta lagu berirama riang, sesuai dengan warna khas “Sitinjac”.

Selain sering menjadi bintang tamu mengisi acara-acara musik kampus, “Sitinjac” juga rutin mengisi session di Rock Café, Hotel Danau Toba Medan. “Lumayan, meski Cuma tampil dua kali seminggu (Senin dan Rabu malam – red), paling tidak kita bisa tetap eksis. Syukur-syukur bisa makin ngetop,” sambung Siti. Semoga….

OFUNK Percussions: Kreatifitas tanpa batas…


Jika Anda mendengar musik yang dimainkan Ofunk Percussions, barangkali memori musikal Anda akan teringat pada Sapri Duo, yang khas dengan hentakan bunyi-bunyian alat musik pukul yang sengaja digubah untuk menyemarakkan suasana; baik itu pesta maupun perhelatan akbar lainnya seperti pembukaan even olahraga atau sejenisnya. Ya, inilah Ofunk, yang tampaknya tak ingin ikut-ikutan mengikuti arus musik yang sudah ramai di kalangan anak band Medan. Salah satu contohnya, musik mereka nyaris tanpa sentuhan elektronik maupun elektrik.

Akan tampak sepele kesannya jika melihat alat musik apa yang dimainkan enam anak muda Medan [Fauzi, Fadlan, Abro, Uki, Iem dan Putra] ini. Ya, namun setidaknya mereka mereka telah membuktikan kreatifitasnya. Inilah ekeperimen musik mereka yang unik, kalau boleh dikatakan demikian: ember bekas, tong kaleng, ember cat bekas, tong sampah kaleng, tabung AC mobil bekas dan besi sisa onderdil mobil yang dicomot dari bengkel; semuanya dikemas menjadi alat musik yang bisa menghasilkan irama menghentak, menggenderang, membuat seisi ruangan hingar bingar dan riuh.

Untuk konsep musik Ofunk sendiri, Fauzi menjelaskan, musik mereka memang sengaja diaransmen sebagai musik pembuka sebuah acara. “Musik intro begitulah kalau bisa disebut. Atau musik pembuka sebuah acara. Biasanya kita main di awal dan di akhir acara. Ya, kita ingin membuat acara agar berkesan lebih semarak dan semangat. Itulah musik kami,” ujarnya.

Kreatifitas musik Ofunk memang boleh dikatakan sebuah gebrakan baru untuk Medan, meski di Jawa sendiri grup musik seperti sudah lama ada; seperti Tata Lo Percussions atau Ozen Percussions misalnya, yang ternyata cukup mendapat respon dari berbagai kalangan khususnya penikmat musik.

Dan belakangan kita ketahui muncul juga grup musik yang sama di Medan, seperti “The Bamboes”, yang menamakan musik mereka sebagai “Musik Sampah”, yang juga nyaris menggunakan alat musik yang sejenis. Bedanya grup musik yang digawangi oleh sekumpulan anak-anak jalanan Medan itu masih menggunakan gitar dan vokal layaknya grup musik yang sudah sering kita dengar.
“Oppung”

Bagaimana sebenarnya awalnya Ofunk berdiri? Fauzi, salah satu personilnya menjelaskan, awal pembentukan grup ini sebenarnya tak pernah direncanakan sama sekali. “Istilahnya tak terencanalah,” ujar lelaki yang sekaligus memegang peranan penting sebagai pelatih dan manejer grup yang dibentuk awal 2006 itu.

Idenya pembentukan Ofunk, kata Fauzi, muncul sekali waktu ketika sekolah MAN 1, di mana lima personil Ofunk lainnya saat itu sekolah [Fadlan, Abro, Uki, Iem dan Putra] hendak mengadakan acara menyambut perpisahan siswa. Waktu itu, pertengahan Februari, anak-anak sedang sibuk merencanakan sesi acara tahunan itu.

“Nah, di situlah muncul ide untuk mengadakan sebuah acara musik yang nantinya diharapkan akan tampil lain dari yang lain,” ujar Fauzi yang selain memegang peran sebagai pemain, juga pelatih dan pengelola grup yang sering ngumpul latihan di Jalan A Hakim Gg Sendok No 1 ini.

Yang lain dari yang sudah biasa itu, tak lain, adalah penampilan atraksi musik mereka yang tidak menggunaka alat musik yang sudah awam dikenal orang banyak, seperti gitar, bass, keyboard, drum, atau alat musik konvensional sejenisnya. Lalu apakah itu?

Melainkan alat musik yang mereka namakan “semi daur ulang”, yakni sekumpulan barang-barang rongsokan yang tidak berguna yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi Ofunk. Mengapa tak menggunakan alat musik konvensional saja? Fauzi mungkin bercanda dengan alasan yang satu ini, “Kami tak sanggup membeli alat musik yang harganya sangat mahal,” jawabnya dengan tersenyum.

Tak berhenti sampai di situ, seusai acara perpisahan itu, keenam anak muda ini akhirnya sepakat membentuk grup resmi yang awalnya hanya untuk tampil sementara itu. Nama grup itu mereka beri nama OFUNK, yang merupakan plesetan dari kata “oppung” – yang dalam bahasa Batak berarti kakek atau nenek.
Mulai berani

Ibarat gayung bersambut, penampilan perdana Ofunk di MAN 1 lantas mendapat respon. Undangan untuk tampil pada acara-acara sejenis pun mulai bermunculan. Atraksi musikal selanjutnya mulai bergeser dari lapangan sekolah, tapi juga mengisi acara untuk hiburan publik. Setelah tiga bulan berbenah diri dengan konsep musik yang dirasa sudah cukup matang, Ofunk pun mulai memberanikan diri untuk beratraksi atas undangan sebuah “even organizer”, yang acaranya berlangsung di Sun Plaza, Medan.

“Sejak itu, grup kita pun mulai dikenal,” ujar Fauzi. Tak lama kemudian, Ofunk juga mulai memberanikan diri untuk tampil mengukuti ajang loba kreatifitas yang saat itu di gelar oleh Radio Prambors Medan. “Waktu itu kami dapat juara satu,” kata Fauzi bangga. Ajakan untuk berkolaborasi pun mulai berani diterima. Semisal, pernah berkolaborasi dengan DJ Rico, yang mencoba berekperimen dengan menggabungkan musik elektronik.

Ketika ditanya apa obesesi Ofunk ke depan, Fauzi mengatakan Ofunk tak ingin menggantungkan obesesi berlebih-lebihan. “Untuk bisa eksis di Medan saja, kami pikir kami sudah cukup. Kami tak ingin terlalu mengharapkan nama besar. Yang penting berkreasi dululah. Soal itu nanti sajalah dulu,” katanya dengan santai.
Sejauh ini nama Ofunk mungkin sudah tak asing lagi di telinga pecinta musik Medan. Setidaknya itulah hasil yang mereka banggakan dengan kreatifitas mereka. “Kami bangga bisa menciptakan sebuah ide musik yang mungkin belum pernah dipikirkan anak Medan selama ini. Kami bangga bisa memulainya,” kata Fauzi.*

The Ordinary: Biasa tapi Tak ingin Biasa-biasa Saja


Walau “The Ordinary” menyebut band mereka “biasa-biasa” saja, tetapi obsesi mereka ternyata “tak biasa-biasa saja”. Mereka ingin musik mereka diterima dan mendapat apresiasi dari penikmat musik, justru dengan “kebiasaan” mereka itu. Bukan hanya di Medan, tetapi juga di label nasional.

Obesesi “The Ordinary”, band yang digawangi Kalead (vokal/gitar), Indra “Jo” dan Penta “pe’ne” (bass) ini, kedengarannya memang mustahil melihat tak banyak band Medan yang lolos menembus label nasional. Namun demikan, mereka tetap optimis.

“Kami juga ingin band kami dikenal luas,” ujar Pe’ne menyebut band yang sudah mereka bentuk sejak Oktober 2005 itu. Selain itu, kata Pe’ne, meski “The Ordinary” menganggap diri “biasa-biasa saja”, namun bukan berarti perjalanan band mereka ke depan akan tetap biasa-biasa saja. “Cukuplah penampilan kami saja yang biasa-biasa saja,” ujar mereka kompak.

Nama “The Ordinary”, kata Indra, memang dicaplok dari karakter pesonilnya. Mereka lebih suka menyebutnya “The Ordy”. “Kami dengar sudah ada, nama band yang sama dengan band kami. Makanya, kami lebih suka menyebutnya begitu,“ ujar Indra, sang drumer.

“Ya, seperti karakter kami yang biasa-biasa saja, itulah alasan mengapa kami menamai band kami “The Ordinary,” timpal Pe’ne, sang basis berambut kribo itu.

“The Ordy” kini sedang menggarap persiapan mini album mereka. Mini album inilah yang nantinya akan mereka lempar ke radio-radio dan dapur-dapur rekaman. Ada lima lagu yang telah mereka rekam, yang semua liriknya menggunakan bahasa Inggris. Proses penciptaanya, seperti kata Kalead, berlangsung selama tiga bulan.

“Saat ini masih lima lagu yang kami garap. Tap sebenarnya masih ada lima lagu lagi yang akan kami rampungkan di awal 2008 nanti,”ujar Indra. Dia menjelasakan, semua lagu diciptakan bersama-sama oleh personil; mulai dari konsep lagu dan lirik.

Kelima lagi itu: That’s OK, Vergie, Waiting, 24 dan Untittled, masih dominan menceritakan tema-tema cinta. Seperti pada lagu “That’s OK”, kata PE’ne, lagu ini adalah sebuah spirit ketika tak sedikit orang yan putus cinta.

“Putus cinta bukanlah akhir segalanya. Makanya, that’s ok... Itu tidak masalah. Jalani saja hidup ini. Bermain musik adalah salah satunya,” ujarnya menggurui. Kata PE’ne, putus cinta sendiri sudah pernah ia alami. “Saya pikir semua orang pernah putus cinta,” tambahnya tertawa.

Sayangnya, kelima lagu itu semuanya menggunakan lirik berbahasa Inggris. Bukankah itu akan menjadi penghalang kedekatan mereka dengan pendengranya, yang tak semuanya mengerti dengan lagu mereka. Atau, apakah ini merupakan trik untuk numpang keren, seperti beberapa band terkenal yang sudah akrab menggunakan liri-lirik berbahasa Inggris?

“Ini bukan untuk sekadar keren-kerenan. Tapi, kayaknya kami lebih senang dengan lirik berbahasa Inggris. Alasan lain, kan sudah banyak band-band yang menggunakan bahasa Indonesia, mengapa kita tidak coba versi bahasa Inggris? Manatahu band kami nanti mendunia,” ujar mereka tertawa.*

SUNSET: Tetap Rock n’ Roll...



Bisa Boogie

Pelan tapi pasti kau cari
perhatianku...
Pelan tapi pasti kau masuk ke dalam
hatiku ...
Kalaupun “bisa” malam ini
Apa esok nanti masih bisa lagi ..
.

(Sunset)

Itulah potongan lirik lagu berjudul “Bisa Boogie”. Lirik genit yang diekspresikan lewat genjrengan gitar distorsi ala pentolan group band Kota Medan: Sunset.

Kehadiran band yang satu ini serasa mengingatkan kita kembali pada aksi-aksi panggung era 70-an. Era di mana band-band beraliran rock n’ roll dan blues pernah merajai panggung musik dunia.

Sebut saja misalnya band legendaris asal Inggris, Led Zeppelin yang getol dengan tajamnya petikan gitar Jimmy Page dan vokal Robert Plan. Atau, Deep Purple yang khas dengan sayatan gitar Ritchie Blackmore, lengkingan vokal Ian Paice dan lincahnya jari John Lord memainkan organ Hammond. Hingga Mick Jagger, Rolling Stone. Dan Sting, The Police.

Dalam setiap aksi panggungnya, Sunset memang kerap membawakan repertoir band-band legendaris tersebut. Di antaranya, “Dryer Maker” dari Led Zeppelin hingga “So Lonely” dari The Police hingga reggae ala rastamania Jamaica Bob Marley. Dan repertoir sejenis lainnya.

Sunset dibentuk pada 1997. Diawali dengan pertemuan empat anak muda: Bengbeng (gitar), Arief (Bass), Ade (Drum) dan Alit (vokal), yang sering nongkrong di kantin kampus Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Band Sunset yang beraliran rock n’ roll dan blues pun semakin komplit dengan tambahnya seorang saxoponis, Bang Tahan (BT). Membuat band ini terlihat semakin berkarakter dan melambungkan namanya. Sehingga Sunset kerap menjadi bintang tamu mengisi perhelatan-perhelatan musik kampus. Juga even-even musik lainnya.

Mini album

Keseriusan bermusik Sunset terus berlanjut. Hingga band yang sering gonta-ganti basis itu sempat menciptakan lima judul lagu, yang rencananya akan dikemas dalam sebuah mini album.

“Tiga diantaranya sudah sempat sering diperdengarkan di radio-radio Medan,” kata Bengbeng ketika ditemui di studionya: Beng Beng Studio, di Jl Jamin Ginting Gg Senina No 11 Medan, baru-baru ini.

Ketiga lagu itu: “Bisa Boogie”, “Langgam Penipu”, dan “Bunga” dibuat pada 2002. Sayangnya album mini itu gagal ditelurkan karena keterbatasan waktu. “Beberapa personil sempat bekerja sehingga sulit untuk bertemu kembali,” kata Bengbeng, yang belakangan sering menggantikan sang vokalis pada beberapa aksi panggung.

Belakangan, raungan Sunset pun mulai jarang terdengar. Bahkan disebut-sebut sudah “mati suri” seperti yang menimpa nasib Summer Blues dan Janur; dua band lain beraliran musik sama yang juga sempat merajai Kota Medan.

Bengbeng, sang gitaris yang juga salah satu motor Sunset, tidak menepis anggapan itu. “Memang sempat fakum. Tapi, bukan berarti sudah mati. Sunset masih ada. Sejak awal kita sudah komit dengan itu,” kata pengagum gitaris blues Steve Ray Vaughan itu.

“Buktinya, belum lama ini Sunset masih sempat main. Kita diundang untuk mengisi acara peresmian sebuah perusahaan,” kata Bembeng. So, itu berarti Sunset masih tetap rock’n roll ...!

Freshmint, "Tak sekadar “Indie”


Dengan munculnya band “Freshmint”, berarti kini ada dua band Medan kreatif yang sama-sama menggunakan kata “mint”; yang pertama adalah “Bluemint”, lalu yang kedua adalah band yang ditunggangi empat anak muda Medan: Asep (gitar), Avis (bass), Dosh (drum) dan Dian (vokal) ini sendiri. Tapi lupakan soal nama. Mari bicara soal setajam apa “gigi” Freshmint dalam kiprah bermusik mereka di Medan.

Pembentukan Freshmint Band pada pertengahan 2007 lalu boleh dikatakan terjadi secara tak sengaja. Diawali pertemuan masing-masing personil yang mengaku sudah melalang dari band yang satu ke band yang lain namun belum juga menemukan kesamaan persepsi dalam bermusik. “Beruntung” keempatnya bisa bertemu atas perkenalan-perkenalan melalui perantara teman dan bisa langsung menyatukan ide mereka, hingga akhirnya mereka sepakat mendirikan “Freshmint”.

Dengan yakin, kini mereka mengaku lebih “hidup” dengan aliran “Punk Melodic”, aliran musik bernuansa Punk yang disusupi melodi-melodi gitar dan vokal yang serasa ingin dibuat seharmonis mungkin.

“Kalau aku, dulu dengan band lamaku, kerap membawakan lagu Top 40’s. Tapi lama-lama kelamaan aku tidak betah di band itu karena sebenarnya tidak sesuai dengan aliran musik yang aku senangi,” ujar Dosh berkomentar mengapa ia tertarik membentuk Freshmint setelah pertemuan-pertemuan tak sengaja dengan ketiga personil Freshmint lainnya di studio-studio musik Medan.

YA, ternyata bukan sekadar isapan jempol. Keempat personil Freshmint perlahan-lahan bergerak dengan satu tujuan pasti. Mereka ingin menjadi band indie yang tidak sekadar “indie”, tapi ingin menancapkan taringnya yang, katanya, tajam bahwa mereka adalah band yang tidak sekadar bermusik memainkan musik orang lain.

Mereka tak setuju dan tak menganggap tidak kreatif jika hanya mengandalkan musik orang, sekalipun lagu band papan atas. “Kami sebenarnya banyak terinspirasi band-band besar. Tetapi itu artinya kami tidak ingin sekadar bisa memainkan musik mereka. kami ingin sejalan berkarya dengan mereka,” ujar Dian. Seperti Asep misalnya yang mengaku memfavoritkan Sex Pistols; Avis menggemari Saint Loco; Dosh mengidolakan Endang Soekamti dan Dian banyak terispirasi dari musk MXPX.

Nah, itu artinya mereka juga tak mau terlibat dalam ajang-ajang festival yang menurut mereka “menghambat” kebebasan bermusik mereka. “Kami memang tak ingin mengikuti ajang festival. Arah band kami hanya ingin mandiri. Dan memiliki nama yang dianggap berkualitas, yang bukan berarti harus melalui ajang festival,” sambung Dian, yang adalah seorang dosen komputer di sebuah universitas swasta Medan itu.

Ke dapur rekaman

Meski tergolong pendatang baru dalam kancah musik Medan, yang memang masih berumur muda meski personilnya sudah lama berstatus “anak band”, Freshmint tak mau dicap selamanya menjadi band “asal ada”. Setidaknya mereka sudah mencoba menerobos pagar batas yang selama ini menghambat jalan anak band Medan yang kebanyakan selalu bersikap “menunggu” panggilan dari industri musik laber major dari Jakarta.

Demi musik, setidaknya mereka juga telah berani invest, berkorban demi nama mereka sendiri kelak agar mendapat tempat sejajar di antara anak band papan atas yang sudah ada; terutama di tingkat nasional. Artinya, mereka ingin bergerak dari Medan dulu, yang menjadi pusat kreatifitas mereka.

Langkah seperti ini sebenarnya sudah lama dimulai di kota-kota besar di Indonesia. Seperti di Bandung misalnya, jelas Dian, band indie di sana bisa eksis dan memiliki penggemarnya tersendiri. Dan tak sedikit di antara band indie yang sudah memiliki nama besar, meski untuk wilayah lokal sendiri.

Inilah yang dicoba untuk ditembus Freshmint. Maka, tiga bulan setelah terbentuk Freshmint mulai mengambil langkah cepat dengan memproduksi sebuah album sendiri yang berjudul “The Fresh Has Come”. Berisi sepuluh lagu dengan tiga hits andalan: “Anjing Kecil”, “Sendiri” dan “I Love U”. Direkam di Bandung. Dan dirilis sebanyak 2 ribu kepingan CD dan 800 keping kaset.

Dalam album ini, Freshmint bercerita tentang kejadian sehari-hari; mulai dari cinta hingga pengalaman-pengalaman biasa tapi berkesan. “Lirik lagu kami ringan saja sekalipun beraliran Punk Melodic, yang memang agak menghentak,” ujar Dosh, yang tak ketinggalan berpenampilan lumayan “punky”.

Dengan materi lagu yang sudah ada sebelumnya, saat ini, Freshmint mengaku sedang menyiapkan album kedua, yang rencananya diharapkan akan lebih “wah” dari album sebelumnya.

“Inilah upaya kami,” ujar mereka. Ya, inilah upaya mereka untuk meraih mimpi mereka agar juga mendapat tempat di antara band tanah air. Mereka sudah mencobanya. Lalu bagaimana dengan anak band Medan lainnya?

Friday, March 14, 2008

"Fireball": Rock Café Band



Untuk mereka penikmat musik rock, barangkali nama band yang satu ini pastilah tidak asing lagi. Nama band itu adalah Fireball, band anak Medan yang imejnya sudah melekat pada masing-masing personilnya. Sekaligus pemuas rasa haus pada aliran musik yang dikenal keras namun juga romantis itu.

Sabtu malam pekan lalu di sebuah café di hotel berbintang Medan. Sesaat sebelum ending lagu “Like an Angel” milik Ingwy Malmsteen dimainkan, pengunjung yang sebelumnya terbius sontak bertepuk tangan memberikan applus kepada band yang tampil di hadapan mereka. Band itu tak lain adalah “Fireball”.

“Lagu selanjutnya, dari Hallowen: ‘Forever and One, untuk Anda…,” sambung sang vokalis, yang lalu disambut sorai oleh pengunjung di ruangan café yang sengaja disetting dengan lampu penerang bergaya minimalis itu.

YA, satu jam sesi pertama itu panggung “dikuasai” milik Fireball. Dan pengunjung yang didominasi anak muda itu, sengaja disuguhkan sajian musik bernuansa rock, yang memang tak sedikit penggemarnya. Singkatnya, satu jam itu adalah sesi untuk musik rock.

Siapakah Fireball? Nama “Fireball” sebenarnya dicaplok dari sebuah judul album legendaris rock Deep Purple, yang dikenal berkarakter keras, namun diisi dengan skill permainan alat musik (gitar dan vokal khas) yang padat dan harmonis.

Dan ini jugalah yang mempengaruhi “Fireball”, band yang dibentuk pada Agustus 2003 ini untuk menyebut nama band mereka demikian.

Fireball (bola api–Red) digawangi Anto (gitar), Sahat (drum), Dede (bass), Nanda (keyboard), Etax dan Maringan Siagian (vokal), yang masing-masing personilnya sudah lama eksis meramaikan semarak perkembangan musik Kota Medan, khsususnya aliran rock.

“Musik rock memang sudah menjiwa pada kami. Musik pertama yang kami kenal adalah musik rock. Dan inilah aliran yang bisa mewakili karakter kami dalam bermusik,” ujar mereka menyebut alasan mengapa mereka tetap getol main di aliran rock, saat diwawancarai seusai sesi pertama mereka itu.

Sayang, meski demikian band yang mengaku terinspirasi dari musik dekade 70-an (Classic Rock) itu sejauh ini masih hanya bisa diakses oleh kalangan penikmat musik rock Medan saja.

Apakah tidak ada niat untuk menembus industri musik lewat dapur rekaman? “Untuk saat ini Fireball memang masih eksis untuk mengisi session hiburan rutin di café. Namun bukan berarti kami tidak memikirkan untuk bisa eksis lebih luas di luar Medan,” ujar Sahat, sang drumer yang namanya barangkali sudah dikenal sebagai salah satu drumer berbakat di Kota Medan.

Langkah itu sebenarnya sudah dilakukan sang vokalis Fireball, Maringan Siagian yang berduet dengan seorang gitaris (Sampe Sarman) meski hasilnya jauh dari yang diharapkan.

Lalu, untuk “Fireball” sendiri? “Ke depan mungkin saja. Tapi untuk saat ini, kita jalani saja dulu sebagai café,” ujar Maringan.

Setidaknya, apa yang mereka jalani saat ini saat ini cukup untuk menunjukkan identitas mereka sebagai musisi Medan, yang sudah memiliki imej yang melekat di kalangan anak muda Medan.

“Untuk musik, itu memang sudah profesi kami. Makanya, kami tak akan berhenti hanya main di café,” ujar mereka kompak. Mmm, kita lihat saja nanti…

Kritik Sosial "Cranium"

Diam, membisu, kehabisan kata-kata
Nadi, tertusuk, sakit menambah rusak jiwa
Sesak, merambah bayangan menakuti..
Penat, disiksa, tetindas politik sampah...

- Cranium: “Tertindas Politik Sampah”

Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika lirik lagu ini dibawakan dalam genre musik keras sarat dengan melodi gitar distorsif, drum “doublebeat” dan suara vokal sangar nan histeris. Akan terdengar garang, bukan? Tapi, walau bagaimana pun inilah Cranium, yang mengaku bemusik dengan idealisme. Yang juga berani mengkritik kondisi sosial yang terjadi di negeri ini.


Dalam kamus ilmu kedokteran, kata “cranium” berarti “tengkorak”. Akan tetapi, menurut tiga dedengkot Cranium: Faisal (drum), Deny (bass) dan Dede (gitar), nama itu sudah cukup untuk menggambarkan identitas band mereka yang memang idealis bermusik di aliran yang barangkali tak semua orang bisa menikmatinya itu, yakni aliran “Death Metal”.

“Kami memang tak biasa dengan tema bernuansa romantisme cinta. Kami lebih peduli dengan hal-hal menyangkut tema sosial. Semakin pas jika diekpresikan dengan aliran musik Death Metal,” ujar Faisal, salah satu pendiri resmi Cranium, band yang didirikan sejak 1997 itu.

Pada potongan bait kedua dari repertoir mereka yang berjudul “Tertindas Politik Sampah” misalnya. “Ini merupakan kritikan kami pada mereka kaum penguasa yang korup,” ujar Deny. Repertoir ini sendiri diciptakan oleh Wendy, vokalis terdahulu Cranium yang meninggal setahun yang lalu akibat kecelakaan.

Soal genre musik, Cranium mengaku banyak terinspirasi dari band-band luar negeri, seperti “Misery Index”, “Dying Tetos”dan “Suffocation”, yang memang merupakan dedengkot-dedengkotnya aliran musik Death Metal.

Album indie ketiga

Selama 10 tahun eksis, setidaknya Cranium telah menelurkan dua album: “Missunderstanding” (1999) dan “Rotten in Nocturnal Aggretion” (2001), yang direkam di Extreme Soul Production, Bandung. Kedua album ini masing-masing berlabel indie.

“Artinya, album kami tidak terfokus pada komersialisasi. Dan memang tidak ingin hal itu terjadi,” ujar Deny. Menurut mereka, kedua abum ini mereka distribusikan “hand to hand”, tanpa marketing dan distribusi seperti yang berlaku pada “mainstream label”.

Rencanaya, pada awal 2008 band ini juga akan menelurkan album ketiganya. Faisal menuturkan, konten album sudah 80 persen sudah selesai digarap. “Sayang, kita belum menemukan vokalis yang pas hingga saat ini. Sehingga kita belum bisa rekaman penuh,” ujar alumnus univesitas swasta jurusan Ilmu Komukasi itu.

Artinya, saat ini Cranium masih membuka kesempatan bagi musisi Medan yang ingin bergabung. “Asalkan serius dan yang pasti memiliki selera musik seperti kami,” ujar Dede, sang gitaris.

Di album indie ketiga ini, Cranium masih tetap setia mengusung kritik-kritik sosial dalam lirik-lirik lagunya, di samping ada satu lagu yang khusus didedikasikan kepada alm Wendy, yang telah terlebih dahulu “pergi” meninggalkan Cranium.

“Dunia Baru akan menjadi repertoir pamungkas di album ketiga ini. Lagu ini khusus kami dedikasikan kepada alm Wendy yang punya andil besar selama Cranium eksis sampai sekarang,” ujar mereka.*

Mosh Pit: “Kami bukan band idealis”

Suara vokal sangar berteriak. Histeris. Bercampur dengan hentakan drum “double beat” seperti hentakan kuda yang berpacu liar dengan raungan distorsi gitar membuat suasana terkesan angker dan sangar adalah karakter musik yang diusung Band Mosh Pit, band Kota Medan yang tak mau menamakan dirinya band idealis.

“Kami bukan band idealis. Kami hanya merasa pas dengan aliran musik seperti ini. Mungkin belum saatnya bagi kami untuk berpikir komersil,” demikian ujar Judi, sang bassis Most Pit yang rutin latihan di Studio Lowrey Musik Studio (Simpang Kampus USU) Medan itu.

Mosh Pit digawangi lima personil yang sebagian adalah mahasiswa dan seorang sarjana ekonomi: Irul, gitaris. Empat personil lainnya: Eko (gitar) Dudi (bass), Raja (drum) dan Indra (vokal). Dibentuk sejak 2003, dengan obsesi ingin tampil diakui dengan aliran musik yang sebenarnya sangat jauh dari komersialisasi itu.

“Aliran musik kami adalah Metal Core,” ujar Indra, sang vokalis. “Tapi bukan berarti kami tidak ingin menjadi band besar dengan aliran yang mungkin tidak semua orang menyukainya. Itu terserah mereka. Yang penting, inilah kami,” lanjutnya.

Metal Core, seperti yang diutarakan para personil Most Pit, merupakan aliran metal yang banyak bermain dengan komposisi melodi lincah sehingga membentuk formasi rhytm yang selaras dengan hentakan beat, didukung dengan vokal lantang nan histeris.

“Komposisi musik Metal Core banyak bermain –istilahnya—dengan biji-biji melodi gitar cepat. Meski suara vokalnya lantang, tapi lirik kita tidak sesangar yang dibanyangkan kebanyakan orang, yakni lirik mistis. Tidak,” ujar Judi.

Selain itu, Mosh Pit mengaku tidak juga identik dengan karakter band metal yang sering diidentikan dengan karakter aneh juga. Semisal, sering mengadakan ritual-rutual aneh, seperti menggigit leher burung merpati hingga nyaris putus dan memuncratkan darah di panggung.

“Tidak. Tidak sampai sesadis dan seseram itu. Apalagi harus menyakiti binatang. Kami bermain musik untuk mengekspresikan diri kami,” ujar Indra. “Lagi pula, kami juga memikirkan bagaimana agar nanti kami bisa menjadi band yang bisa diakui,” sambungnya.


Meksi tampaknya mustahil, tapi Most Pit tetap optimis. Hal it mereka buktikan dengan karya mereka selama hampir empat tahun eksis. “Saat ini kami sedang mempersiapkan album perdana kami,” ujar mereka.

Beberapa lagu ciptaan mereka di antaranya sudah sering mereka perdengarkan pada even-even musik metal di Kota Medan, seperti “Dream For Our Existence”, “One Day I Die” dan “Innocent Hate”.

“Tema-tema musik kami lebih mengarah pada kehidupan dan cinta. Jangan salah persepsi jika kami mengalunkannya lewat musik metal, “ujar band yang masih berjalan di jalur indie itu.

Ketika ditanya soal kepuasan apa yang mereka alami saat memainkan musik mereka itu, dengan kompak mereka menjawab,” Kami merasa puas ketika kami main, ada penonton yang tergerak hatinya untuk moshing (ritual menggerak-gerakkan kepala dan badan ke depan –Red). Itu artinya, kami berhasil menciptakan Most Pit (ruang untuk moshing –Red),” ujar mereka tersenyum.

Jubing Kristanto, dari Jurnalis ke Gitaris


Rupanya hobi tak hanya bisa membuat orang bahagia. Bagaimana pula rasanya menekuni sebuah pekerjaan yang berawal dari hobi. Tentu lebih puas dan lebih indah rasanya. Setidaknya itulah yang dialami Jubing Kristanto, yang melanglang hidup dari jurnalis ke gitaris. Ia kini lebih dikenal sebagai gitaris klasik Indonesia. Karena gitar, namanya bahkan ikut diukir di Museum Rekor Indonesia.

Ketika bergelut di dunia jurnalistik (wartawan, redaktur dan redaktur pelaksana) selama 13 tahun di salah satu tabloid nasional terkemuka, penghasilan Jubing memang lebih besar dibandingkan dengan profesinya menjadi gitaris seperti sekarang. Tapi, baginya kekayaan finansial bukanlah tujuan satu-satunya bermain gitar. Kepuasan batin dan kebahagiaan bisa menghibur orang adalah motivasinya. Inilah integritas bermusik seorang Jubing.

“Dibanding saat masih di industri media, total penghasilan per tahun jelas kalah. Begitu juga keamanan dalam hal aneka tunjangan. Namun kalau untuk hidup secukupnya, mengajar gitar dan main gitar pun bisa hidup. Dan saya sudah membuktikannya. Memang tidak bisa jadi kaya secara finansial,” katanya.

Gitar klasik, jika dibandingkan dengan alat musik lainnya, memang hanya diminati sedikit kalangan saja. Gitar sering diidentikkan sebagai alat musik pengamen jalanan yang kalah gengsi dengan piano, biola, elekton dan alat musik lainnya. Gitar malah dianggap tak lebih dari alat musik pengiring belaka, sekadar untuk digenjrang-genjreng. Tapi, nasib gitar bisa berubah di tangan Jubing. Gitar membawanya sejuta nilai: keyakinan, perjuangan dan pengorbanan, yang pada akhirnya ia menikmati manisnya. Mau tahu buktinya?

Beruntung Jubing memiliki orangtua yang mengerti talenta anaknya. Untungnya lagi, orangtua Jubing sendiri adalah pecinta musik yang bisa bermain gitar meski bukan sekelas profesional. Maka guru gitar pertamanya adalah orangtuanya.

Usia 12 tahun, Jubing sudah tampil mengiringi teman-teman sekolahnya dengan gitar di sebuah konser publik. Dua tahun kemudian ia bertekad serius belajar gitar klasik gara-gara terpesona menyaksikan kawannya bermain gitar tunggal. Sejak itu ia mulai belajar kepada Suhartono Lukito di Sekolah Musik Obor Mas Semarang. Setahun kemudian, ia pun jadi finalis Festival Gitar Indonesia 1982 untuk bagian bebas.

Wartawan merangkap gitaris

Pertengahan April kemarin, Jubing (begitu ia akrab disapa), tampil dalam konser Kwartet Punakawan di Tokyo Jepang dengan pianis Jaya Suprana, yang juga dikenal sebagai pendiri MURI.

Sebelumya, bersama dua personel Kwartet Punakawan, Heru (bas) dan Juned (perkusi) ia pun tampil dalam konser di gedung Konser ABC Radio di Melbourne Australia, Agustus 2006 lalu. Ini memang bukan pertama kali Jubing melanglang ke luar negeri karena gitar. Pertama kali pada 1984, diusia 18, ia berangkat ke Hongkong atas utusan Yayasan Musik Indonesia (YMI) Pusat mengikuti festival tingkat Asia Tenggara.

Festival yang berlangsung di Academic Community Hall, Hongkong, 9 Desember 1984 itu memberinya penghargaan Distinguished Award, setelah memainkan komposisi jazz Captain Caribe karya Earl Klugh dan lagu pop We're All Alone.

Inilah awal prestasi Jubing. Beberapa kali festival gitar yang diselenggarakan yayasan musik terkemuka di Indonesia -Yamaha-berhasil disabetnya, mulai dari dua kali meraih “runner up” hingga empat kali meraih “grand prize” pada bagaian kompetisi “Free Section”.

Semasa kuliah, antara tahun 1986- 1987 selain berfestival, Jubing juga memberi les-les privat dan ikut bermain band di kampus. Ia juga sempat mencicipi masuk studio rekaman berkat bantuan temannya Djono, mahasiswa antropologi yang sering mengajaknya ngeband.

Kemudian, seorang teman—Renee Nessa Sahir gitaris kini tinggal di Amerika Serikat—menawari Jubing untuk menggantikan posisinya mengiringi tamu-tamu yang sedang menikmati makan malam di Indonesia Petroleum Club (IPC), Jakarta.

Setamat dari UI, Jubing kemudian bekerja di tabloid terkemuka. “Ternyata menyenangkan juga menjadi reporter. Selalu berkeliling berbagai tempat dan bertemu macam-macam orang,” kata Jubing mengenang. Tapi bukan berarti ia menggantungkan gitarnya. Selama menjadi wartawan, di sela kesibukan bekerja, Jubing pun tak lupa gitarnya. Ia juga sempat berguru selama dua tahun pada Arthur Sahelangi.

Selain itu, Yayasan MURI memberinya penghargaan atas karyanya mengangkat martabat gitar klasik atas karyanya “Gitarpedia: Buku Pintar Gitaris” diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Ia juga menjadi orang Indonesia pertama yang menampilkan aransemen dan komposisi orisinal solo gitarnya lewat situsnya: www.geocities.com/jubing. Lewat situs pribadi itu pula karya-karyanya mulai dikenal dan dimainkan gitaris di berbagai negara. Capuccino Rumba misalnya, sudah dimuat di majalah gitar Soundboard (2000) yang dikelola “Guitar Foundation of America”. Beberapa karyanya pun menjadi lagu wajib ujian gitar pada sekolah musik Yayasan Pendidikan Musik (YPM), Jakarta. “Begitu kuatnya daya tarik gitar, maka saya memutuskan meninggalkan profesi jurnalis dan beralih menjadi guru dan gitaris profesional,” tulis Jubing.

Nah, Anda tentu punya hobi yang jika diasah dengan serius akan membawa hasil yang indah. Apa kuncinya? Integritas dan perjuangan. Jubing telah membuktikannya (TS).

All Rights Reserved


Amran Lubis dan Gitar Pencetak Rupiah


Gitar, alat musik tua ini sebenarnya “ajaib”. Kenapa? Karena selain mampu menghilangkan sumpek dan bikin hati ceria, ternyata juga bisa bikin rupiah di kantong kita menumpuk. Bagaimana caranya? Tanya saja kepada Amran Lubis “gitaris apoteker” yang mengawali profesinya dari hobi.

Bosan “genjrang-genjreng” dengan musik kawula muda pada dekade 70-an dengan hiruk pikuk The Beatles dan sejenisnya, gitaris yang juga bekerja sebagai apoteker di sebuah apotek ini pun pindah ke musik klasik. “Saya ingin sesuatu yang lebih, yang bukan sekadar musik,” katanya kepada Global di ruang tempat ia menghabiskan hari-harinya sebagai guru gitar klasik di Era Musika Medan.

Maka selepas menamatkan SMP di Penyabungan, Madina pada 1976, Amran pun hijrah ke Kota Medan dan melanjutkan sekolah menengah atas (SMAN 5) sambil mengikuti kursus gitar klasik di Era Musika ketika beranjak ke kelas dua.

Tujuh tahun ia tekun belajar di bawah bimbingan dua orang guru gitar, Boyke lalu pindah kepada Tat Chu. Keduanya merupakan guru gitar pertama Era Musika yang pada masa itu masih berlokasi di kawasan Kesawan Medan. “Nah, dari mereka saya mulai serius dengan musik klasik mulai dari teori dan permainan sesungguhnya. Tapi saya tidak lupa sekolah dan melanjutkan perkuliahan,” katanya.

Amran ternyata begitu ngotot tapi tidak membangkang orangtua. “Orangtua saya sebenarnya lebih mengingini anaknya menjadi seorang sarjana teknik atau sejenisnya, yang penting sekolah di jalur formal,” katanya. Sehingga pada kursus gitar, orangtuanya hanya mampu membiayainya selama dua tahun. “Memang saat itu kondisi perekonomian orangtua saya sedang tidak stabil, karena ayah saya baru saja meninggal dunia,” kenangnya.

Berkat anjuran orangtuanya, Amran pun ikut Sipenmaru dengan mengambil jurusan Teknik dan MIPA jurusan farmasi pada tahun 1979. “Untungnya saya lulus di fakultas MIPA jurusan farmasi di Universitas Sumatera Utara, sehingga orangtua saya pun berhasil saya yakinkan,” katanya.

Kuliah Sambil Ngajar Gitar

Meski demikian Amran tidak melupakan gitar dan cita-cita sebenarnya, yaitu menjadi seorang guru musik. “Saya tidak tahu, dari kecil saya sudah terobsesi menjadi seorang guru musik,” katanya tersenyum. Tapi waktu itu ia dipaksa oleh keadaan, ketika orangtua tak sepenuhnya yakin dengan masa depan seorang musisi.

Menjalani tingkat empat perkuliahan atau setelah tujuh tahun menimba ilmu gitar klasik, Amran bertemu dengan T Koitzumi, seorang instruktur gitar klasik Jepang selaku penasihat yayasan musik spesialisasi gitar klasik yang berada di bawah lisensi Yamaha Coorporation Indonesia. Pada waktu itu, tahun 1986, Yamaha sedang mencari instruktur baru dan mengadakan audisi pada gitaris-gitaris muda Kota Medan.

“Dalam audisi itu Koitzumi senang dengan penampilan dan cara pengajaran saya di hadapan beberapa petinggi-petinggi gitar klasik lainnya. Tapi akhirnya saya lolos dan sejak itu saya resmi menjadi guru gitar seperti yang saya cita-citakan,” kenang Amran.

Dari situ Amran mulai mandiri. Mulai dari membiayai perkuliahan tanpa sepenuhnya lagi berharap dari orangtua hingga kebutuhan lainnya. Tapi jangan heran kalau Amran telat menyelesaikan kuliahnya. “Tapi saya tak pernah menyia-nyiakan kuliah saya, sebab bagi saya itu juga penting seperti yang dikatakan orangtua saya. Maka meski terlambat saya terus bertekad untuk menyelesaikannya,” katanya. “Jangan heran jika saya juga mampu me-manage sebuah apotek dan hapal betul banyak jenis-jenis obat-obatan,” katanya.

Amran memang seorang guru gitar tapi juga seorang apoteker. “Jelas dari gitar,” katanya sedikit keberatan, ketika menjawab dari mana sumber penghasilan rupiahnya yang terbesar. Memang ia bukan saja mengabdi di Era Musika.

Rezeki pun mulai berdatangan. Maka pada tahun 1989 Amran diminta menjadi dosen musik di Fakultas Kesenian Universitas HKBP Nommensen Medan yang masih ditekuninya hingga saat ini.

Dari situ pun ia berkenalan dengan Edward Van Ness, seorang Amerika yang juga dekan di fakultas itu dan memintanya mengajar di Medan Internasional School (MIS) Medan. Saat itu Edwad memang sedang membentuk sebuah program ekstrakurikuler di bidang musik, khusus bagi sekolah-sekolah yang mayoritas muridnya adalah orang-orang Eropa yang tinggal di Medan. “Nah, ia lantas memanggil saya dan menetapkan saya sebagai instruktur gitar di sana,” katanya.

Tapi sayang, kata Amran. Kedua putrinya tak sepenuhnya mengkuti langkahnya. Meski sebenarnya ia tak menginginkan agar talenta gitarnya menurun pada kedua putrinya. Tapi Amran bertekad menjadikan gitar klasik menjadi musik yang dicintai semua orang, khususnya anak muda yang saat ini “heboh” diguncang musik pop. Di samping itu ia juga ingin menunjukkan para orangtua bahwa bergelut di musik sejak dini juga dapat menjanjikan masa depan cerah pada anak-anak.

Ditanya soal prestasi, Amran pun menyayangkan masa-masa ketika ia sedang bertekun di gitar di masa mudanya. “Pada masa-masa itu, sangat jarang event-event perlombaan gitar, sehingga banyak gitaris yang tidak kesampaian melampiaskan kemampuannya,” ujarnya. “Maka, jalan satu-satunya adalah menjadi guru, karena inilah jalan satu-satunya untuk hidup di gitar,” cetusnya.

Itulah Amran yang tak akan pernah melepaskan gitarnya dari rangkulannya. Karena kini ia hidup untuk gitar dan gitar telah memberinya hidup. “Kini saya sadar gitar telah menjadi bagian dari hidup saya, yang tak menyesal memilikinya,” katanya (TS).

All Right Reserved